Assalamu'alaikum...
Yang
punya blog balik lagi...nengokin aja...hhheee
Masih
ingat kan, kalau yang mpunya blog ini ceritanya adalah guru PLB... Hheeee
Sekarang saya mengajar di SBK Rumah Melati, Bekasi.. Kenapa pakai
"BEKASI"?? Biar Kota Bekasi tambah eksis akan hal-hal yang
positif-positif... Contohnya.... dengan munculnya SBK Rumah Melati sebagai
salah satu sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk
wilayah be-ka-si..
Ok
balik lagi... Kegiatan sekolah hari ini salah satunya 'fieldtrip'. Tujuan kali
ini bukan ke kebun / ladang (field)..tapi, ke kantor pos.. Hayooo..ngapain
kalau ke kantor pos? Ya..mengirim surat... *emang sih kedengarannya agak aneh..
“hari gini ngirim surat? Kan udah adanya HP, Internet, sosmed-sosmed, dan
sarana komunikasi modern lainnya”.. Tapi, tak apa-apa lah... TAK ADA KATA RUGI DI DALAM KAMUS BELAJAR...
Mungkin saja kegiatan hari ini dapat bermanfaat untuk mereka kelak (aamiin) ...
Ya...
mereka murid-murid berkebutuhan khusus kami... :) Mengirim surat... Jangan
bayangkan surat yang isinya panjang kali lebar kali tinggi... Anggap saja ini
surat pribadi yang isinya tak berformat, tapi yang dinilai adalah isinya... :)
Lah?? Memang isinya bagaimana? Dengan tulisan yang singkat dan to the point..
Bahwa mereka sedang belajar mengirim surat, dan ucapan terima
kasih/sayang/cinta kepada keluarga, khususnya i-bu...
Oke lanjut
ceritanya. Berangkatlah rombongan siswa-siswi kelas 2, 3, dan 4 dengan berjalan
kaki ke Kantor Pos. Singkat cerita, tibalah kami di tujuan. Suasana Kantor Pos
yang cukup penuh karena sudah kedatangan pengguna jasanya. Kami pun duduk untuk
mengantri dipanggil oleh petugas. Naaahh.. saat itu, salah satu siswa dengan autism
sedang tantrum. Ia berteriak-teriak (saat diusut, ternyata ia ‘takut’ dengan
suara mesin di sebelah Kantor Pos). Berteriak-teriak, melompat-lompat,
menendang-nendang, menarik-narik baju dan tingkah polah lain yang katanya “gak bisa diem”. Siswa itu juga
menarik baju orang lain yang datang ke Kantor Pos. Orang-orang yang dari awal
mengetahui kedatangan kami bersama anak berkebutuhan khusus, tampaknya “biasa
saja” dan terlihat “menerima” kedatangan kami. Tetapi, ada satu ibu yang bearu
saja datang. Bajunya ditarik-tarik oleh siswa yang sedang tantrum tadi. Dan ibu
tersebut terlihat ‘tidak terima’, hal ini terlihat dari raut mukanya. Ia juga
terheran-heran melihat siswa kami. “Kenapa mbak? Suruh pulang aja mbak”, sambil
mukanya ‘gimana gitu’ *you know lah. Ibu itu masih ‘tak terima’ dengan adanya anak
dengan autisme di dekatnya. Bahkan saat di dalam ruangan, masih saja terlihat ‘ketidakterimaan’
itu.
Di dalam
hati, ‘geregetan’.. pingin ngomong, “bu, biasa aja kali lihatnya”. “Ngerti
dikit napah”
Ini hanya
salah satu contoh kasus bahwa masih banyak ada masyarakat yang belum
mengetahui apa itu autism. Bagaimana menyikapinya.
Stop! Jangan gunakan kata “autis”
sebagai bahan bercandaan.
Coba sekali-kali
letakkan perspektif kita di keluarga yang memiliki anggota yang menyandang autism,
coba letakkan perspektif kita sebagai orang tua dari anak dengan autism. Bagaimana
mereka berusaha keras untuk terlihat “normal”. Bagaimana mereka berusaha keras
agar ‘dapat diterima’ di masyarakat..
Ayo.. Jadilah
masyarakat yang pintar. Jadi masyarakat yang inklusi, jadi masyarakat yang
toleran. Semoga.. Aamiin
0 komentar:
Posting Komentar