Tugas Rumah Anak Sesuai Usia

Batita (usia 2-3)* Memungut mainannya yang berceceran.
* Mengelap debu di meja dengan kemoceng.
* Membantu mengeluarkan pakaian dari mesin cuci ke keranjang.
Anak prasekolah (usia 4-5)
* Semua tugas di atas.
* Membawa piring kotor ke bak cuci piring.
* Memberi makanan hewan peliharaannya.
* Menyiram tanaman sambil mencabuti rumput liar.
Anak sekolah dasar awal (usia 6-8)* Semua tugas sebelumnya.
* Membantu memasak dengan mencuci bersih bahan-bahan makanan. Anda juga bisa memintanya mengambil dan mengumpulkan bahan makanan yang akan diolah.
* Membantu melipat pakaian bersih.
* Menyapu lantai, paling tidak dari kamarnya sendiri.
Anak sekolah dasar  (usia 9-11)
* Semua tugas sebelumnya.
* Membuat sarapan yang mudah seperti roti isi untuk keluarga, sementara Anda menyiapkan bekal makan siang dan membuat minuman.
* Membuang sampah.
* Mengepel lantai.
Anak sekolah menengah (usia 12-14)
* Semua tugas di atas.
* Membantu memasak makanan lengkap.
* Mencuci piring.

sumber

Sistem Pelayanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar di Sekolah Reguler


              Anak berkesulitan belajar hendaknya belajar di sekolah biasa atau sekolah regular bersama anak lain yang tidak berkesulitan belajar. Meskipun demikian, anak berkesulitan belajar memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi anak berkesulitan belajar inilah yang akan dibahas pada bab ini. Pembahasan akan mencakup empat hal, yaitu berbagai pilihan penempatan, peranan guru anak berkesulitan belajar, hubungan antara orang tua dengan guru, dan program bimbingan bagi orang tua.
1.      Berbagai Pilihan Penempatan
            Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan, kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan keterampilan social dan akademik anak. Suatu tim yang menangani anak berkesulitan belajar biasanya menganjurkan untuk memilih suatu sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan beberapa tipe pelayanan.
            Menurut Lerner (1988: 141) ada tiga sistem penempatan yang banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang sumber (resource room), dan kelas regular (regular class). Menurut Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika Serikat memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber, dan 15 persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan dibahas pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang sumber, dan kelas regular.
a.       Kelas khusus
            Sekolah yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya menempatkan 10 atau 20 anak berkesulitan belajar dalam satu kelas, pengelompokan, dapat didasarkan atas taraf kesulitan atau faktor-faktor lain. Ada dua macam kelas khusus yang biasa digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar dan kelas khusus untuk bidang studi tertentu.
            Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar anak berkesulitan belajar diajar oleh guru khusus. Mereka berinteraksi dengan anak yang tidak berkesulitan belajar hanya pada saat beristirahat. Jenis pelayanan ini adalah yang paling bersifat membatasi pergaulan anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan belajar dalam sistem pendidikan integatif.
            Dalam kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak belajar bidang studi yang tidak dapat mereka ikuti di kelas regular. Untuk bidang-bidang studi seperti olahraga, musik, kerajinan tangan, dan bidang studi lain yang dapat dilakukan bersama anak yang tidak berkesulitan belajar, mereka melakukan bersama. Sebagian besar dari waktu yang digunakan di dalam kelas khusus jenis ini umumnya untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung, dan kadang-kadang juga tentang keterampilan sosial atau aspek khusus dari bahasa.
            Sistem pemberian pelayanan dalam kelas khusus tidak hanya memiliki keuntungan tetapi juga memiliki kekurangan. Keuntungan dari sistem pemberian pelayanan ini adalah : (1) pembelajarannya menjadi lebih efektif karena pengelompokannya homogen dan (2) anak berkesulitan belajar lebih banyak menperoleh pelayanan yang bersifat individual dari guru. Adapun kekurangan dari sitem pemberian pelayanan ini adalah : (1) anak berkesulitan belajar sering memperoleh cap negatif yang dapat mengganggu kepercayaan diri, sikap negatif dari keluarga, dan harapan untuk berhsil yang rendah dari guru; dan (2) anak berkesulitan belajar cenderung hanya dapat berimitasi dengan sesama mereka.  
b.      Ruang sumber
            Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan berbagai media pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru sumber diharapkan juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi konsultan bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.
            Pemberian pelayanan dalam bentuk sumber memiliki keuntungan tetapi juga kekurangan. Kelebihannya adalah (1) anak yang memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial memperoleh bantuan dari guru yang terlatih dan (2) anak berkesulitan belajar tetap berada di dalam kelas regular sehingga mereka dapat bergaul dengan anak yang tidak tergolong berkesulitan belajar. Adapun kekurangan sistem pemberian pelayanan jenis ini adalah (1) meningkatkan jumlah waktu terbuang untuk pindah dari kelas regular ke ruang sumber, (2) mengurangi kemampuan guru kelas atau guru regular untuk menangani anak secara individual, (3) meningkatkan kemungkinan adanya inkosnsistensi pendekatan pembelajaran, (4) meningkatkan jumlah spesialis yang bekerja untuk anak yang dapat menimbulkan pelayanan yang terpecah-pecah, dan (5) dapat meningkatkan konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.
c.       Kelas regular
            Jenis pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, yaitu anak yang berkesulitan belajar dan anak yang tidak berkesulitan belajar. Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak berkesulitan belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar maupun yang tidak berkesulitan belajar. Suasana belajar kopereatif diciptakan untuk menghindari terjadinya duplikasi pemberian pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan belajar maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak berbakat (gifted and talented). Dalam kelas regular semacam ini, berbagai metode untuk kedua jenis anak digunakan bersama.
            Sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular memiliki banyak keuntungan tetapi juga memiliki banyak kekurangan. Berbagai keuntungan dari sistem ini adalah:
(1)   Anak berkesulitan belajar akan menggunakan anak yang tidak berkesulitan belajar sebagai model perilaku mereka
(2)   Mengelola anak berkesulitan belajar di kelas regular lebih murah daripada menyediakan mereka pelayanan dan situasi khusus
(3)   Anak yang tidak berkesulitan belajar dapat menjadi lebih mudah memahami adanya perbedaan antarindividu; dan
(4)   Guru regular dimungkinkan untuk menjadi lebih dapat menyesuaikan pembelajaran mereka dengan karakteristik individual semua anak
      Adapun berbagai kekurangan sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular adalah :
(1)   Anak berkesulitan belajar kurang memperoleh pelayanan individual
(2)    Anak berkesulitan belajar masih mungkin memperoleh cap negatif dari anak yang tidak berkesulitan belajar
(3)   Anak berkesulitan belajar mungkin akan sering gagal karena sulitnya bahan dan tugas
(4)   Anak berkesulitan belajar akan dirugikan karena memperoleh pelayanan PLB yang sistematis dan latihan keterampilan dasar yang cukup, dan
(5)   Semangat juang (morale) guru kelas atau guru regular mungkin akan terpengaruh secara negatif karena banyak di antara mereka yang tidk dipersiapkan untuk menangani anak berkesulitan belajar.

2.      Peranan Guru Khusus Untuk Anak Berkesulitan Belajar
            Di Negara kita guru khusus bagi anak berkesulitan belajar masih sangat langka. Meskipun Jursan Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP Jakarta telah menyelenggarakan pendidikan guru khusus bai anak berkesulitan belajar sejak tahun 1970-an, penempatan lulusnannya ke dalam sistem persekolahan masih mengalami banyak kesulitan. Para lulusan bidang kekhususan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar pada jurusan tersebut umumnya bekerja di sekolah-sekolah swasta yang sudah memiliki perhatian untuk itu. Pada tahun akademik tahun 1992-1994 kurikulum jurusan PLB telah secara tegas mencantumkan adanya bidang kekhususan pendidikan anak berkesulitan belajar. Mulai tahun akademik tersebut, jurusan PLB membuka tujuh bidang kekhususan yaitu (1) pendidikan bagi anak tunanetra, (2) pendidikan bagi anak tunanetra, (3) pendidikan bagi anak tunagrahita, (4) pendidikan bagi anak tunadaksa, (5) pendidikan bagi anak tunalaras, (6) pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, dan (7) pendidikan bagi anak berbakat.
            Dengan dibukanya bidang kekhususan baru, pendidikan bagi anak berkesulitan belajar dan pendidikan bagi anak berbakat, maka kedua lapangan pekerjaan bidang kekhususan tersebut perlu dibuka agar mutu pelayanan pendidikan lebih meningkat.
            Ada sembilan peranan guru khusus bagi anak berkesulitan belajar di sekolah (Lerner, 1988:147). Kesembilan peranan tersebut adalah :
(1)   Menyusun rancangan program identifikasi, asesmen, dan pembelajaran anak berkesulitan belajar;
(2)   Berpartisipasi dalam penjaringan, asesmen, dan evaluasi anak berkesulitan belajar;
(3)   Berkomunikasli dengan para ahli yang terkait dan menginterpretasikan laporan mereka;
(4)   Melaksanakan tes, baik dengan tes formal maupun informal;
(5)   Berpartisipasi dalam penyusunan program pendidikan yang diindividualkan (individualited education programs);
(6)   Mengimplementasikan program pendidikan yang diindividualkan;
(7)   Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan orang tua;
(8)   Bekerja sama dengan guru regular atau guru kelas untuk memahami anak dan menyediakan pembelajaran yang efektif; dan
(9)   Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh harapan untuk berhasil serta keyakinan kesanggupan mengatasi kesulitan belajar
           
            Ada dua kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru bagi anak berkesulitan belajar, yaitu kompetensi teknis (technical competence) dan kompetensi konsultasi kolaboratif (ollaborative consultation competencies) (Lerner, 1988: 148). Kompetensi teknis mencakup (1) memahami berbagai teori tentang berkesulitan belajar, (2) memahami  berbagai tes yang terkait dengan kesulitan dengan kesulitan belajar, (3) terampil dalam melaksanakan asesmen dan evaluasi, dan (4) terampil dalam mengajarkan bahasa lisan, bahasa tulis, membaca, matematika, mengelola perilaku, dan terampil dalam memberikan pelajaran prevokasional dan vokasional. Kompetensi konsultasi kolaboratif mencakup kemampuan dengan upaya memberikan bantuan kepada anak berkesulitan belajar. Orang-orang yang terkait dengan upaya memberikan bantuan kepada anak tersebut terutama adalah guru regular atau guru kelas, administrator sekolah, tim ahli (dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya), dan orang tua.
            Guru regular sering tidak memperoleh latihan dalam bidang PLB dan tidak dipersiapkan untuk mengajar anak berkesulitan belajar. Mereka sering takut terhadap tanggung jawab dan enggan menerima tugas tambahan untuk membantu anak berkesulitan belajar. Padahal, tujuan pembelajaran yang dirancang untuk anak hanya dapat dicapai jika semua orang yang telibat dalam memberikan bantuan kepada anak tersebut berfungsi secara terintegrasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsultasi kolaboratif yang dapat meningkatan kerja sama antarorang-orang yang terlibat dalam upaya memberikan bantuan kepada anak berkesulitan belajar.
            Perlu dibedakan antara konsultasi dan kolaborasi. Dalam konsultasi, seorang professional (misalnya, guru bagi anak berkesulitan belajar) menjalin hubungan dengan seorang cocultee (misalnya, guru kelas regular). Problema konsultasi akan muncul jika kedua belah pihak saling tidak menganggap pakar dan guru kelas tidak bersedia menerima anjuran “pakar” tersebut. Dalam kolaborasi, kedua belah pihak, baik guru bagi anak berkesulitan belajar maupun guru kelas diasumsikan memiliki taraf keahlian yang setara terhadap situasi permasalahan yang dihadapi, yang memungkinkan terjadinya interaksi yang terbuka. Dalam konsep konsultasi kolaboratif sifat konsultasi dan kolaborasi digabungkan sehingga tercipta suasana kesejawatan yang setara. Di samping dengan guru kelas, guru bagi anak berkesulitan belajar juga melakukan konsultasi kolaboratif dengan administrator, professional lain (dokter, psikolog, konselor sekolah, dan sebagainya), dan orang tua.
            Idol, Paulucci-Whitchomb, dan Mevin seperti dikutip oleh Lerner (1988: 149) mendefinisikan konsultasi kolaboratif sebagai suatu proses interaksi yang memungkinkan orang dengan keahlian yang berbeda menghasilkan solusi kreatif terhadap masalah yang diterrapkan bersama. Hasilnya adalah mempertinggi, mengubah, dan menghasilkan solusi yang berbeda dari yang dihasilkan oleh anggota tim secara mandiri. Hasil utama dari konsultasi kolaboratif adalah tersedianya program yang komprehensif dan efektif, sehingga dengan demikian memungkinkan anak berkesulitan belajar mencapai interaksi konstruktif dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.
            Ada beberapa prinsip konsultasi kolaboratif yang perlu diperhatikan. Beberapa prinsip tersebut adalah seperti dikemukakan berikut ini :
a.       Tujuan umum. Tujuan umum program pembelajaran anak berkesulitan belajar harus disadari oleh semua personel sekolah. Jika tiap personel sekolah bekerja dengan tujuan yang berbeda, maka anak dapat menimbulkan konflik dan ketidakpuasan.
b.      Komunikasi terbuka dan jelas. Suatu sistem komunikasi yang terencana diperlukan untuk membantu menetapkan dasar-dasar perceptual umum antaranggota yang terlibat dalam upaya penanggulangan kesulitan belajar. Sistem komunikasi semacam itu perlu menyediakan suatu kesempatan yang terjadwal untuk menjelaskan berbagai persoalan yang muncul secepat mungkin. Jika berbagai persoalan berlanjut tanpa adanya kesempatan untuk berkomunikasi tatap muka, ketidakpuasan akan meningkat dan kesalahpahaman akan mudah terjadi.
c.       Kejelasan tanggung jawab. Adalah hal yang sangat penting untuk menjelaskan tanggung jawab semua orang yang terlibat upaya penangulangan kesulitan belajar. Tanpa adanya kejelasan tanggung jawab masing-masing anggota akan mudah terjasi konflik dan disfungsi.
d.      Menanggulangi konflik. Jika berbagai masalah muncul, berbagai metode untuk memecahkan masalah-masalah tersebut harus dikembangkan. Berbagai masalah tersebut tidak boleh diabaikan tetapi juga tidak boleh dipecahkan secara paksa. Semuainformasi harus ditampatkan terbuka, dan berbagai problema harus dihadapi oleh semua orang yang terkait.
e.       Waktu dan fasilitas yang cukup. Tanpa adanya waktu yang cukup untuk merancang, mengomunikasikan, dan mengevaluasi, program pendidikan bagi anak berkesulitan belajar akan banyak mengalami kesulitan dalam kegiatan sekolah yang padat. Ruangan, waktu, dan jaminan bahwa pertemuan-pertemuan tidak terganggu sangat diperlukan untuk kerja produktif.
Kerja sama antaranggota tim sangat diperlukan dalam penangaulangan kesulitan belajar. Ada berbagai aktivitas yang diharapkan dapat meningkatkan kerja sama atau kolaborasi. Berbagai aktivitas tersebut adalah seperti dikemukakan berikut ini.
1.      Pendidikan service. Guru regular dan personel sekolah yang lain sering tidak dibekali pengetahuan tentang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Agar semua personel sekolah bersedia memberikan dukungan dan menjalin kerja sama dalam upaya membantu anak berkesulitan belajar, maka diperlukan adanya pendidikan inservice  bagi mereka.
2.      Demonstrasi. Guru bagi anak berkesulitan belajar dapat mendemonstrasikan kepada personel sekolah tentang bahan, metode, teknik, dan tes yang digunakan untuk memecahkan masalah kesulitan belajar.
3.      Metode studi kasus. Diskusi yang mendalam tentang seorang anak berkesulitan belajar dapat melibatkan guru kelas dan personel sekolah lain. Melalui studi kasus diharapkan para guru dapat memahami proses asesmen, intervensi, dan aspek-aspek lain dari kesulitan belajar.
4.      Pengalaman klinis. Kerja sama antarpersonel sekolah dapat dilakukan dengan melibatkan mereka secara langsung dalam pelaksanaan diagnosis dan pengajaran. Pengalaman semacam ini dapat meningkatkan pemahaman guru tentang kesulitan belajar sehingga mereka memahami pula arti kerja sma dalam upaya pemecahannya.
5.      Pembicara tamu dan menghadiri seminar. Menghadirkan pakar pendidikan anak berkesulitan belajar untuk memberikan ceramah di sekolah merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan sikap positif para guru kelas sehingga mereka bersedia memberikan urunan tenaga dan pikiran untuk memecahkan masalah kesulitan belajar. Upaya lain adalah dengan meminta kepada para guru atau personel sekolah lain untuk hadir dalam seminar atau symposium tentang anak berkesulitan belajar.
6.      Laporan berkala. Laporan berkala atau jurnal yang berkaitan dengan kesulitan belajar. Hendaknya menjadi salah satu bacaan yang disediakan oleh sekolah bagi para guru. Bacaan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan sikap positif guru terhadap upaya penanggulangan kesulitan belajar.

3.      Hubungan Orang Tua Dan Guru
            Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima kenyataan, (2) kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana adanya.
            Sikap menolak atau tidak dapat menerima kenyataan sering diperlihatkan dalam bentuk adanya hubungan saying-benci dan menerima-menolak anak. Hubungan sayang-benci merupakan sikap ambivalensi, kadang-kadang sayang dan kadang-kadang benci terhadap anaknya yang tergolong berkesulitan belajar. Begitu pula dengan sikap menerima-menolak, orang tua di suatu saat dapat menerima anak sebagaimana adanya tetapi di saat lain menolak. Sikap orang tua yang membenci dan menolak anak berkesulitan belajar tidak hanya dapat menghambat anak untuk menyesuaikan diri dengan kesulitannya tetapi juga menghambat komunikasi di dalam keluarga sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak aman pada anak. Bentuk reaksi kompensasi yang berlebihan tampak dari adanya kecenderungan orang tua untuk bersikap tidak realistic, kaku atau keras, dan memberikan perlindungan yang berlebihan. Orang tua yang semacam ini itu sering memperlihatkan semangat yang berlebihan, memberikan latihan secara terus-menerus, dan mengharapkan anaknya dapat menjadi superior. Sikap orang tua semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi cerdas berlebihan sehingga pada gilirannya menghambat pencapaian belajar yang optimal.
            Orang tua yang bersikap menerima anak berkesulitan belajar apa adanya adalah yang paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Sesunguhnya sulit untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya. Menurut Robinson seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), yang dimaksud dengan menerima anak adalah menghargai apa yang dimiliki anak, menyadari kekurangannya, dan aktif menjalin hubungan yang menyenangkan dengan anak. Bertolak dari penghargaan atas apa yang dimiliki anak dan penerimaan atas apa yang tidak dimiliki anak, orang tua menjalin hubungan yang wajar dan berupaya mengembangkan potensi yang masih dimiliki oleh anak untuk mempersiapkan tugasnya di masa depan. Menurut Wortis seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), ada dua indikator dari orang tua yang menerima anak apa adanya, yaitu (1) tetap melakukan aktivitas kehidupan yang normal dan (2) berupaya mempertemukan anak dengan kebutuhannya.
            Menurut Mercer (1979: 95), sikap menerima anak apa adanya adalah tahapan akhir dari penyesuaian orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan belajar. Ada lima tahapan penyesuaian orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan belajar, yaitu (1) menyadari adanya masalah, (2) mengenal masalah, (3) mencari penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5) menerima anak apa adanya.
            Kesadaran terhadap adanya masalah biasanya muncul pada saat orang tua melihat adanya gejala-gejala penyimpangan yang negatif pada anak. Gejala-gejala tersebut antara lain adalah (a) belum dapat duduk pada usia sembilan bulan, (b) belum dapat berjalan pada usia 18 bulan atau dua tahun, (c) belum dapat bicara satu kata yang dapat dimengerti pada usia tiga tahun, (d) sering pandangannya kosong, (e) tangannya kaku dan canggung, (f) sering terantuk dan jatuh, (g) memberikan reaksi yang keras terhadap peristiwa yang remeh, (h) tidak mudah tertawa, dan (i) tidak menyukai permainan sembunyi-sembunyi atau cilukba. Jika ibu mengetahui gejala-gejala awal tersebut biasanya akan memberitahukan kepada ayah, dan mereka umumnya mulai menyadari tentang adanya masalah pada anak mereka. Menyadari adanya masalah tersebut biasanya orang tua berusaha mencari informasi professional kepada guru TK atau kepada dokter anak.
            Setelah orang tua memperoleh informasi dari dokter bahwa anaknya memiliki penyimpangan yang dapat mengganggu proses belajar, orang tua biasanya memberikan reaksi yang bermacam-macam. Reaksi tersebut dapat dapam bentuk pertengkaran orang tua, berpindah-pindah dokter untuk meyakinkan hasil diagnosis (dokter shopping), dan ada pula orang tua yang menggunakan mekanisme pertahanan diri untuk mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh keadaan yang tidak disukai. Pertengkaran orang tua biasanya terjadi karena adanya perbedaan reaksi antara ibu dan ayah dalam menghadapi masalah. berpindah-pindah dokter terjadi karena orang tua ingin meyakinkan ketepatan diagnosis. Kesulitan-kesulitan, terutama yang tergolong ringan, sering sukar didiagnosis pada masa usia prasekolah.
            Untuk mengurangi kecamasan, ada orang tua yang menggunakan mekanisme pertahanan diri. Bentuk mekanisme pertahanan diri yang paling umum dan paling primitif menurut Mercer (1979: 96) adalah penyangkalan (denial). Orang tua mungkin mengatakan bahwa anaknya memiliki kemampuan tinggi sehingga membuat tuntutan-tuntutan yang tidak realistik, misalnya dengan mengantarkan anak mengikuti les piano, les menari, dan sebagainya. Mungkin orang tua menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam bentuk memberikan perlindungan yang berlebihan (overprotection) dengan melarang anak berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan dan disukai anak. Harapan yang berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi bergantung pada orang lain atai tidak mandiri. Pada tahap pengakuan adanya masalah ini hendaknya orang tua diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapinya. Jika orang tua telah siap untuk mengakui adanya masalah, maka ia baru dapat diajak untuk menyiapkan perkembangan anak selanjutnya.
            Setelah tahap mengakui adanya masalah, orang tua biasanya memasuki tahap mencari penyebab. Menurut Robinson dan Robinson seperti dikutip Mercer (1979: 7), ada dua alasan orang tua mencari penyebab kesulitan belajar. Pertama, dengan mengetahui penyebab diharapkan dapat ditemukan jalan untuk memperbaiki atau mencegah kesulitan belajar. Kedua, dengan mengetahui penyebab, diharapkan dapat mengurangi beban berat perasaan berdosa. Orang tua mungkin menjadi sangat frustasi karena penyebab kesulitan belajar sukar dipahami. Diagnosis umumnya didasarkan pada manifestasi perilaku, bukan pada dasar neurologic atau generic, dan di samping itu orang tua mungkin menemukan berbagai teori yang berbeda-beda tentang penyebab kesulitan belajar.
            Tahapan berikutnya adalah mencari penyembuhan. Kebanyakan orang tua mencari penyembuhan didasarkan atas pandangan etiologis atau penyebab tertentu. Jika penyebabnya kekurangan vitamin, mungkin akan disembuhkan dengan memberikan vitamin. Jika penyebabnya disfungsi otak minimal, mungkin akan disembuhkan dengan latihan-latihan perceptual motor, dan jika penyebabnya pendidikan yang keliru, mungkin akan disembuhkan dengan memanipulasi lingkungan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan. Macam-macam penyembuhan tersebut sesungguhnya masih hipotesis dank arena itu guru hendaknya memberikan informasi atau pengarahan yang cukup.
            Tahapan terakhir penyesuaian orang tua dalam menghadapi anak berkesulitan belajar adalah menerima anak sebagaimana adanya. Setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya, biasanya orang tua sampai pada tahapan akhir penyesuaian ini. Jika orang tua telah sampai pada tahapan inilah pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar biasanya dapat mencapai kemajuan.
            Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua – guru dapat menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolah. Baik orang tua maupun guru sering merasa khawatir saat hadir dalam pertemuan semasam itu. Para orang tua umumnya khawatir terhadap laporan guru tentang anak mereka sedangkan guru umumnya khawatir terhadap reaksi negatif dari para orang tua. Pertemuan orang tua guru, hendaknya dipandang oleh kedua belah pihak sebagai wahana untuk membangun anak. Dengan melakukan koordinasi berbagai upaya, orang tua guru dapat bekerja sama untuk membantu anak mencapai kemajuan.
            Dalam menyelenggarakan sutu pertemuan, guru hendaknya berusaha meyakinkan orang tua bahwa mereka akan diajak berkomunikasi dalam hubungan antarmanusia, bukan hubungan dengan sistem yang impersonal. Guru hendaknya memperlihatkan perhatian mereka terhadap anak dan penghargaan terhadap orang tua, dan bukan memperlihatkan kesombongan. Berbagai kesulitan hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan menghindari istilah-istilah teknis. Para orang tua umumnya ingin memahami sifat masalah, dank arena itu data diagnostic dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya dijelaskan kepaa orang tua. Para orang tua hendaknya juga dibantu untuk menjadi peka terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak mereka di sekolah.
            Para orang tua umumnya ingin mengetahui tentang bantuan yang dapat mereka berikan kepada anak di rumah. Ada berbagai aktivitas yang menurut Mercer (1979: 102) dapat dikerjakan oleh orang tua di rumah untuk membantu  anak, yaitu (1) melakukan observasi perilaku anak, (2) memperbaiki perilaku anak, (3) mengajar anak
            Orang tua mempunyai lebih banyak waktu untuk bergaul dengan anak sehingga mereka dapat lebih leluasa untuk melakukan observasi perilaku anak bila dibandingkan dengan guru, dokter, atau konselor. Oleh karena itu, melatih orang tua untuk mengembangkan keterampilan melakukan observasi perilaku anak merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi upaya membantu anak berkesulitan belajar. Hasil observasi orang tua dapat dilaporkan kepada guru, dokter atau konselor sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi masalah kesulitan belajar anak. Adapun perilaku anak yang perlu diobservasi oleh orang tua antara lain adalah berkaitan dengan kemampuan anak bermain bersama kaka atau adiknya, jenis permainan yang disukai, kebiasaan makan,kebiasaan tidur, dan benda atau peristiwa yang ditakuti anak.
            Anak berkesulitan belajar sering memperlihatkan banyak masalah perilaku. Beberapa masalah perilaku yang paling umum adalah hiperaktivitas, kecanggungasnmdan emosi yang labil. Untuk memperbaiki perilaku tersebut, orang tua dapat mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh guru bagi anak berkesulitan belajar, dokter, atau psikolog. Dengan demikian, berbagai upaya untuk memperbaiki perilaku anak tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi juga di rumah.
            Masyarakat umumnya memandang bahwa tugas orang tua di rumah adalah menanamkan kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Orang tua diharapkan dapat mengajarkan kepada anak tentang norma dan keterampilan sosial. Tetapi, mengenai pelajaran akademik, ada dua macam pandangan. Pertama, pandangan yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak. Kedua, pandangan yang menganjurkan agar orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah. Pandangan yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alasan (1) orang tua tidak memiliki keterampilan mengajar yang esensial, (2) sering menimbulkan ketegangan dan frustasi pada anak, (3) waktu anak untuk bermain menjadi berkurang, dan (4) orang tua mungkin akan merasa bersalah jika tidak memiliki waktu untuk mengajar anak. Pandangan yang menganjurkan agar orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alas an bahwa (1) jika mendapat latihan orang tua dapat berfungsi sebagai guru di rumah, dan (2) orang tua menjadi pelengkap bagi pembelajaran di sekolah.
            Perlu tidaknya orang tua menjadi guru bagi anak mereka di rumah tergantung pada berbagai keadaan. Jika orang tua mampu menjalin hubungan yang baik dengan anak, menguasai bahan pelajaran dan metode pengajarannya, dan memiliki waktu untuk mengajar, ada baiknya orang tua menjadi guru bagi anak mereka di rumah. Tetapi, jika orang tua menjadi tegang, frustasi, kecewa, atau tidak sabar pada saat mengajar, orang tua semacam ini sebaiknya tidak menajadi guru bagi anak mereka di rumah. Beberapa pertimbangan lain untuk memutuskan apakah orang tua perlu mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah adalah kemungkinan waktu anak untuk bermain menjadi berkurang, kemungkinan menimbulkan perasaan iri pada anaknya yang lain, dan apakah pengajaran tersebut dapat menyenangkan anak atau tidak.

4.      Program Bimbingan Dan Latihan Bagi Orang Tua
            Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang tua di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini akan dikemukakan program bimbingan dan program latihan bagi orang tua.
a.       Program Bimbingan bagi Orang Tua
            Menurut McDowell seperti dikutip oleh Mercer (1979: 100), ada dua macam pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan pendekatan psikoterapetik. Pendekatan informasional menekankan pada penyediaan pengetahuan bagi orang tua tentang kesulitan belajar. Mercer mengemukakan contoh pendekatan ini dengan suatu pertemuan berangkai yang diselenggarakan oleh McWirter. Sekolah menyelenggarakan suatu rangkaian pertemuan bagi orang tua anak berkesulitan belajar dan kepada mereka diberikan informasi tentang anak berkesulitan belajar dan latihan untuk menanggulanginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan-pertemuan semacam itu sangat berharga bagi orang tua.          
            Pendekatan psikoterapetik memusatkan perhatian pada usaha membantu orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow seperti dikutip oleh Mercer (1979: 104) ada beberapa macam strategi pemberian bantuan bagi anak berkesulitan belajar seperti dikemukakan berikut ini.
1.      Hanya intervensi pendidikan. Strategi ini ditujukan kepada anak berkesulitan belajar tanpa gangguan emosional, yang memiliki keluarga stabil dan harmonis
2.      Hanya terapi individual. Strategi ini ditujukan kepada anak berkesulitan belajar yang orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan seperti orang tua yang pecandu obat bius, peminum alcohol, psikotik, atau yang menolak anak.
3.      Bimbingan kelompok orang tua. Strategi ini untuk orang tua yang baik, yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari pertemuan-pertemuan kelompok yang berupaya memecahkan masalah kesulitan belajar anak-anak mereka.
4.      Terapi individual dan tutorial. Strategi ini untuk anak berkesulitan belajar yang membutuhkan intervensi akademik yang sistematik dan orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan (lihat b)
5.      Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian terapi kepada anak dan orang tua secara bersamaan dapat menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekan.
6.      Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang sama. Strategi ini tepat digunakan jika orang tua dan anak dapat menjalin interaksi koperatif.
7.      Terapi keluarga yang terdiri dari anak, orang tua, dan saudara-saudara kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi keluarga yang dapat memecahkan masalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang saling menunjang atau koperatif.
            Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi yang cenderung menekankan pada peran orang tua dalam memecahkan masalah emosional anak, yang memandang perlu adanya perbaikan keseluruhan lingkungan keluarga.
b.      Program Latihan bagi Orang Tua
            Program ini ditujukan kepada orang tua untuk memperoleh keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak secara efektif di rumah. Menurut McDowell seperti dikutip oleh Mercer (1979: 101) ada dua pendekatan dalam program latihan bagi orang tua, yaitu (a) pendekatan komunikasi (communication approach) dan (b) pendekatan keterlibatan (involvement approach).
            Pendekatan komunikasi menekankan pada penyelenggaraan komunikasi langsung antara orang tua dengan anak; sedangkan pendekatan keterlibatan menekankan pada upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama kelompok.
            Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip oleh Mercer (1979: 102) mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut “C-Group” yang membantu orang tua memecahkan masalah praktis melalui kerja sama (collaboration), konsultasi (consultation), klarifikasi (clarification), konfrontasi (confrontation), perhatian dan pengasuhan (concern and caring), kerahasiaan (confidentiality), dan tanggung jawab (commitment) pada perubahan. Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk menyajikan masalah-masalah praktis kepada kelompok dan kemudian mereka mencoba memecahkan masalahsesuai dengan saran yang dikemukakan oleh kelompok.
                           
Sumber :
Abdurrahman, Mulyono. Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. 2012.  Jakarta: Rineka Cipta.

Powered By Blogger