Pelangi Terima Kasih



terima kasih pada pelangimu
penyejuk mata hati
warna-warnimu tak sekedar hitam dan putih
manakah warna yang jelas
dari hitam gelap si sukma
bermunculan beribu warna
ku senang melihatnya
ingin kuterus menatapinya
tak perlu menyentuhnya
cukup dari jauh saja
begitu indah
tapi tak abadi
warna indahmu memutih
bersinergi dengan lautan awang
lalu esok lusa dan seterusnya?
aku tak tahu tentang takdir
tetapi terima kasih atas pelangimu

Mereka Sama Seperti Orang Lainnya



Seberapa banyak orang-orang disabilitas yang hidupnya dianggap “aneh”, “menjadi penghambat”, “benalu masyarakat” dan berbagai sebutan lainnya yang tidak masuk nurani.
Bagaimana jika anda adalah salah satu bagian dari ‘komunitas’ disabilitas? ‘Gerah’ ya mendengarnya.
Menurut gw, terlalu banyak orang-orang munafik yang tidak mau mengakui ketidaksempurnaannya, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Yah itulah manusia.
Di masyarakat kita, hal yang paling banyak dijumpai adalah para disabilitas yang menyesuaikan diri dengan lingkungan (yang dianggap normal). Bukan lingkungan yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan para disabilitas. Ada hal menarik saat kubaca buku berjudul “Sekolah Inklusif” tentang walaupun memiliki keterbatasan bukan berarti dunia terbatas. Ini dia kutipannya. Check this..

Perkebunan Anggur Martha: “Mereka Sama Seperti Orang Lainnya”
Satu contoh yang mengagumkan ada dalam buku Nora Ellen Groce, berjudul Everyone Here Spoke Sign Language. Nora Ellen Groce menggambarkan masyarakat di Perkebunan Anggur Martha, sebuah pulau di lepas pantai Massachusetts, tempat terdiam imigran-imigran Eropa yang sebagian besar menderita tunarungu. Diduga, hal ini disebabkan oleh sifat-sifat genetic beberapa keluarga yang berasal atau yang mendiami pulau itu. Perkawinan di antara anggota masyarakat itu sendiri dan relative rendahnya kontak dengan pulau induk, diduga sebagai penyebab kelainan karakter genetic di daerah ini.
Iklim social di Perkebunan Anggur Martha selama abad ke-18 dan 19 dapat digambarkan sebagai berikut:
Di perkebunan. . .orang-orang yang normal menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa isyarat. Adaptasi tersebut bukan hanya sangat berarti dari segi bahasa, tetapi juga menghancurkan dinding yang memisahkan orang-orang tunarungu dari masyarakat lainnya. Lalu seberapa bisa orang-orang tunarungu itu memiliki hambatan dan semua orang tahu serta merasa nyaman dengan ketulian? Keadaan masyarakat di pulau tersebut membuktikan bahwa mereka telah mengatasi masalah itu dengan sangat berhasil.
Karena orang-orang di Perkebunan Anggur Martha (baik yang tunarungu maupun yang dapat mendengar) ?berbicara dengan bahasa isyarat, ketulian bukan lagi merupakan cacat. Sementara beberapa mil saja dari situ, di pulau induk Massachussetts, ketulian masih dikatergorikan penghalang utama yang berdampak pada masalah social yang serius. Di pulau tersebut, ketulian dilihat sebagai satu perbedaan yanf hanya membutuhkan sedikit kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan komunikasi bagi orang-orang yang tunarungu. Seorang penduduk lama di pulau itu mengenang bahwa ketika orang-orang berkumpul bersama di Perkebunan Anggur Martha.  
Mereka akan duduk-duduk melingkar, menunggu surat dating atau hanya berbincang-bincang. Orang-orang tunarungu akan berada disana, setiap orang ada di sana. Mereka menjadi bagian khalayak yang berkumpul di tempat tersebut, dan mereka diterima. Mereka adalah para nelayan, petani, dan lainnya. Mereka juga ingin mengetahui kabar-kabar terbaru seperti orang-orang lain. Seringkali orang-orang bercerita dan membuat isyarat pada saat bersamaan sehingga setiap orang dapat mengikuti. . .  tentu saja lebih banyak orang tunarungun disbanding orang normal, setiap orang akan berbicara bahasa isyarat –– untuk kesopanan.
Sepanjang abad ke-18 dan ke-19, sekitar 80% orang-orang tunarungu di Perkebunan Anggur Martha menikah, angka ini hampir sama dengan rata-rata perkawinan di pulau tersebut. Di sebagian Amerika Serikat, saat itu, hanya 45% saja orang-orang tunarungu yang menikah. Di pulau tersebut, hanya 35% dari penduduk tunarungu yang menikah dengan sesame tunarungu lainnya. Angka-angka ini sungguh berbeda dibandingkan statistic nasional saat itu. Selama periode tersebut, 79% penduduk Amerika Serikat yang tunarungu menikahi orang-orang yang tak dapat mendengar. Penduduk yang tunarungu di Perkebunan Anggur Martha memiliki anak dan memiliki keluarga besar, seperti halnya tetangga yang normal.
Penduduk yang tunarungu di pulau tersebut bekerja di berbagai lapangan kerja dan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keberhasilan secara ekonomi seperti saudara dan tetangganya yang normal. Sedangkan di pulau induk, sejumlah kecil orang yang tunarungu sangat terbatas dalam pilihan-pilihan pekerjaan dan mendapatkan bayaran lebih kecil disbanding orang-org orang-orang ang normal. Pola-pola keterbatasan ekonomi, pekerjaan, social, dan individu tunarungu terus berlanjut sampai sekarang, tetapi Perkebunan Anggur Martha tidak lagi menjadi perkecualian dalam hal ini.
Nora Ellen Groce mengakhiri Everyone Here Spoke Sign Language dengan satu komentar dari seorang penduduk lama di situ yang dia wawancarai:
Kehidupan masyarakat pendahulu kami ini juga diceritakan pada saya, kisah tentang keturunan penduduk yang tunarungu. Fakta yang mengagumkan mengenai wanita dan pria tunarungu ini adalah mereka tidak menganggap cacat, sebab tak seorangpun menganggap ketunarunguan mereka sebagai suatu cacat. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada saya, “Anda tahu, kami pikir tidak ada yang khusus dari mereka. Mereka persis seperti kita. Bila Anda mau memikirkannya, pulau itu tempat yang sangat indah untuk dihuni. Memang begitulah.”

Mereka Sama Seperti Orang Lainnya



Seberapa banyak orang-orang disabilitas yang hidupnya dianggap “aneh”, “menjadi penghambat”, “benalu masyarakat” dan berbagai sebutan lainnya yang tidak masuk nurani.
Bagaimana jika anda adalah salah satu bagian dari ‘komunitas’ disabilitas? ‘Gerah’ ya mendengarnya.
Menurut gw, terlalu banyak orang-orang munafik yang tidak mau mengakui ketidaksempurnaannya, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Yah itulah manusia.
Di masyarakat kita, hal yang paling banyak dijumpai adalah para disabilitas yang menyesuaikan diri dengan lingkungan (yang dianggap normal). Bukan lingkungan yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan para disabilitas. Ada hal menarik saat kubaca buku berjudul “Sekolah Inklusif” tentang walaupun memiliki keterbatasan bukan berarti dunia terbatas. Ini dia kutipannya. Check this..

Perkebunan Anggur Martha: “Mereka Sama Seperti Orang Lainnya”
Satu contoh yang mengagumkan ada dalam buku Nora Ellen Groce, berjudul Everyone Here Spoke Sign Language. Nora Ellen Groce menggambarkan masyarakat di Perkebunan Anggur Martha, sebuah pulau di lepas pantai Massachusetts, tempat terdiam imigran-imigran Eropa yang sebagian besar menderita tunarungu. Diduga, hal ini disebabkan oleh sifat-sifat genetic beberapa keluarga yang berasal atau yang mendiami pulau itu. Perkawinan di antara anggota masyarakat itu sendiri dan relative rendahnya kontak dengan pulau induk, diduga sebagai penyebab kelainan karakter genetic di daerah ini.
Iklim social di Perkebunan Anggur Martha selama abad ke-18 dan 19 dapat digambarkan sebagai berikut:
Di perkebunan. . .orang-orang yang normal menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa isyarat. Adaptasi tersebut bukan hanya sangat berarti dari segi bahasa, tetapi juga menghancurkan dinding yang memisahkan orang-orang tunarungu dari masyarakat lainnya. Lalu seberapa bisa orang-orang tunarungu itu memiliki hambatan dan semua orang tahu serta merasa nyaman dengan ketulian? Keadaan masyarakat di pulau tersebut membuktikan bahwa mereka telah mengatasi masalah itu dengan sangat berhasil.
Karena orang-orang di Perkebunan Anggur Martha (baik yang tunarungu maupun yang dapat mendengar) ?berbicara dengan bahasa isyarat, ketulian bukan lagi merupakan cacat. Sementara beberapa mil saja dari situ, di pulau induk Massachussetts, ketulian masih dikatergorikan penghalang utama yang berdampak pada masalah social yang serius. Di pulau tersebut, ketulian dilihat sebagai satu perbedaan yanf hanya membutuhkan sedikit kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan komunikasi bagi orang-orang yang tunarungu. Seorang penduduk lama di pulau itu mengenang bahwa ketika orang-orang berkumpul bersama di Perkebunan Anggur Martha.  
Mereka akan duduk-duduk melingkar, menunggu surat dating atau hanya berbincang-bincang. Orang-orang tunarungu akan berada disana, setiap orang ada di sana. Mereka menjadi bagian khalayak yang berkumpul di tempat tersebut, dan mereka diterima. Mereka adalah para nelayan, petani, dan lainnya. Mereka juga ingin mengetahui kabar-kabar terbaru seperti orang-orang lain. Seringkali orang-orang bercerita dan membuat isyarat pada saat bersamaan sehingga setiap orang dapat mengikuti. . .  tentu saja lebih banyak orang tunarungun disbanding orang normal, setiap orang akan berbicara bahasa isyarat –– untuk kesopanan.
Sepanjang abad ke-18 dan ke-19, sekitar 80% orang-orang tunarungu di Perkebunan Anggur Martha menikah, angka ini hampir sama dengan rata-rata perkawinan di pulau tersebut. Di sebagian Amerika Serikat, saat itu, hanya 45% saja orang-orang tunarungu yang menikah. Di pulau tersebut, hanya 35% dari penduduk tunarungu yang menikah dengan sesame tunarungu lainnya. Angka-angka ini sungguh berbeda dibandingkan statistic nasional saat itu. Selama periode tersebut, 79% penduduk Amerika Serikat yang tunarungu menikahi orang-orang yang tak dapat mendengar. Penduduk yang tunarungu di Perkebunan Anggur Martha memiliki anak dan memiliki keluarga besar, seperti halnya tetangga yang normal.
Penduduk yang tunarungu di pulau tersebut bekerja di berbagai lapangan kerja dan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keberhasilan secara ekonomi seperti saudara dan tetangganya yang normal. Sedangkan di pulau induk, sejumlah kecil orang yang tunarungu sangat terbatas dalam pilihan-pilihan pekerjaan dan mendapatkan bayaran lebih kecil disbanding orang-org orang-orang ang normal. Pola-pola keterbatasan ekonomi, pekerjaan, social, dan individu tunarungu terus berlanjut sampai sekarang, tetapi Perkebunan Anggur Martha tidak lagi menjadi perkecualian dalam hal ini.
Nora Ellen Groce mengakhiri Everyone Here Spoke Sign Language dengan satu komentar dari seorang penduduk lama di situ yang dia wawancarai:
Kehidupan masyarakat pendahulu kami ini juga diceritakan pada saya, kisah tentang keturunan penduduk yang tunarungu. Fakta yang mengagumkan mengenai wanita dan pria tunarungu ini adalah mereka tidak menganggap cacat, sebab tak seorangpun menganggap ketunarunguan mereka sebagai suatu cacat. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada saya, “Anda tahu, kami pikir tidak ada yang khusus dari mereka. Mereka persis seperti kita. Bila Anda mau memikirkannya, pulau itu tempat yang sangat indah untuk dihuni. Memang begitulah.”

Demam Boy/Girl band


Demam boyband(keboy-boy-an) dan girlband yang menyerang para ababil negeri ini (dan semoga virus itu akan segera lenyap). Ternyata bukan cuma para ababil yang notabene adalah anak-anak muda kalangan ‘mayoritas’ di Indonesia ini (jadi mereka menganggap diri mereka anak normal), tetapi juga anak-anak didik di kelas Ibu Ika di SLB C Karya Mulya. Anak-anak itu adalah anak Tunagrahita. Walaupun menurut para ahli mereka memiliki IQ (yang katanya mewakili kecerdasan) yang di bawah rata-rata, banyak dari mereka (al anak Down Sindrom) adalah peniru ulung. Apa yang ia lihat akan mereka tiru, mulai dari gerakan, perilaku maupun perkataan.
Sebagai contoh, salah satu anak Down Sindrom di sekolah tersebut yang bernama Fito, ia sering menirukan gerakan yang ia lihat dari ibunya. Adalah gerakan seperti berias, mulai dari seolah-olah memakai bedak, memakai lipstick, sampai memakai eye liner. Haduh, kok yang ia contoh malah hal-hal seperti itu sih, dia kan laki-laki. Gerakan lain yang sering ia tirukan seperti gerakan kakek-kakek yang berjalan membungkuk memakai tongkat, cara duduk guru, dll. Terkadang melihat tingkah lakunya yang dapat dikatakan konyol adalah hiburan tersendiri. Seandainya perilaku yang “baik” yang ia contoh, itu akan menjadi pembelajaran tersendiri baginya. Ingat katanya si mutiara “memberi contoh lebih baik dari pada menasehati”. Hal ini benar lho, terutama saat berhadapan dengan anak-anak Tunagrahita. Percuma anda berteriak-teriak “jangaaann,,,jangannnn”, tapi berikan contoh pada mereka, (walaupun hal ini sulit) maka InsyaAllah sedikit demi sedikit ia akan memahami apa yang sebenarnya kita ingin sampaikan.
#Kembali ke cerita demam boy dan girl band.
Berapa banyak spesies mereka yang tumbuh di Indonesia (walaupun tenggelam kembali). Setiap hari ‘nyampah’ di layar kaca dan so pasti ditonton semua orang yang nongkrong didepannya. Tak terkecuali anak-anak didik di kelasku. Adalah Fahlia dan Salsa.
“kamseuphay…kamse…..u…pay”, fahlia said.
“dag dig dug hatiku…”, Salsa said
Dan kata-kata lainnya yang sering mereka ucapkan, ataupun penggalan lagu yang mereka senandungkan.
“kok kamu ngomongnya gitu?” said me
“putih abu-abu” she said
“kamu sering nonton sinetron itu ya?” ask me
“iya”, she answer
Mendengarnya terasa sangat aneh. Berharap anak-anak didikanku dapat menjadi anak muda yang gak alay. #ups
Berharap mereka menjadi anak-anak yang sesungguhnya, sehingga dapat menjadi ‘dewasa’ yang sesungguhnya pula.  
Kasihan mereka ketika mereka tidak memiliki tontonan yang benar-benar mendidik.
Apakah perlu para boy atau girl band turun langsung menjadi pendidik bagi ‘mereka’?
Atau para guru yang perlu membentuk boy atau girl band sehingga ‘mereka’ mendapatkan pendidikan yang benar-benar mendidik?
Hhaaaa….gelo!!

Bukankah pendidikan akan berhasil ketika ada kerjasama yang baik dari berbagai pihak, tak terkecuali penghuni dunia hiburan. Wth

silent


jangan  membuka rahasia walaupun itu adalah rahasia umum

Powered By Blogger