Seberapa banyak orang-orang
disabilitas yang hidupnya dianggap “aneh”, “menjadi penghambat”, “benalu
masyarakat” dan berbagai sebutan lainnya yang tidak masuk nurani.
Bagaimana jika anda adalah salah satu
bagian dari ‘komunitas’ disabilitas? ‘Gerah’ ya mendengarnya.
Menurut gw, terlalu banyak
orang-orang munafik yang tidak mau mengakui ketidaksempurnaannya, karena memang
tidak ada manusia yang sempurna. Yah itulah manusia.
Di masyarakat kita, hal yang paling
banyak dijumpai adalah para disabilitas yang menyesuaikan diri dengan
lingkungan (yang dianggap normal). Bukan lingkungan yang menyesuaikan diri
dengan kebutuhan para disabilitas. Ada hal menarik saat kubaca buku berjudul “Sekolah
Inklusif” tentang walaupun memiliki keterbatasan bukan berarti dunia terbatas.
Ini dia kutipannya. Check this..
Perkebunan Anggur Martha: “Mereka
Sama Seperti Orang Lainnya”
Satu contoh yang mengagumkan ada
dalam buku Nora Ellen Groce, berjudul Everyone
Here Spoke Sign Language. Nora Ellen Groce menggambarkan masyarakat di Perkebunan
Anggur Martha, sebuah pulau di lepas pantai Massachusetts, tempat terdiam
imigran-imigran Eropa yang sebagian besar menderita tunarungu. Diduga, hal ini
disebabkan oleh sifat-sifat genetic beberapa keluarga yang berasal atau yang
mendiami pulau itu. Perkawinan di antara anggota masyarakat itu sendiri dan
relative rendahnya kontak dengan pulau induk, diduga sebagai penyebab kelainan
karakter genetic di daerah ini.
Iklim social di Perkebunan Anggur
Martha selama abad ke-18 dan 19 dapat digambarkan sebagai berikut:
Di perkebunan. . .orang-orang yang normal menggunakan dua bahasa yaitu
bahasa Inggris dan bahasa isyarat. Adaptasi tersebut bukan hanya sangat berarti
dari segi bahasa, tetapi juga menghancurkan dinding yang memisahkan orang-orang
tunarungu dari masyarakat lainnya. Lalu seberapa bisa orang-orang tunarungu itu
memiliki hambatan dan semua orang tahu serta merasa nyaman dengan ketulian?
Keadaan masyarakat di pulau tersebut membuktikan bahwa mereka telah mengatasi
masalah itu dengan sangat berhasil.
Karena orang-orang di Perkebunan
Anggur Martha (baik yang tunarungu maupun yang dapat mendengar) ?berbicara
dengan bahasa isyarat, ketulian bukan lagi merupakan cacat. Sementara beberapa
mil saja dari situ, di pulau induk Massachussetts, ketulian masih
dikatergorikan penghalang utama yang berdampak pada masalah social yang serius.
Di pulau tersebut, ketulian dilihat sebagai satu perbedaan yanf hanya
membutuhkan sedikit kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan komunikasi bagi
orang-orang yang tunarungu. Seorang penduduk lama di pulau itu mengenang bahwa
ketika orang-orang berkumpul bersama di Perkebunan Anggur Martha.
Mereka akan duduk-duduk melingkar, menunggu surat dating atau hanya
berbincang-bincang. Orang-orang tunarungu akan berada disana, setiap orang ada
di sana. Mereka menjadi bagian khalayak yang berkumpul di tempat tersebut, dan
mereka diterima. Mereka adalah para nelayan, petani, dan lainnya. Mereka juga
ingin mengetahui kabar-kabar terbaru seperti orang-orang lain. Seringkali
orang-orang bercerita dan membuat isyarat pada saat bersamaan sehingga setiap
orang dapat mengikuti. . . tentu saja
lebih banyak orang tunarungun disbanding orang normal, setiap orang akan
berbicara bahasa isyarat –– untuk kesopanan.
Sepanjang abad ke-18 dan ke-19,
sekitar 80% orang-orang tunarungu di Perkebunan Anggur Martha menikah, angka
ini hampir sama dengan rata-rata perkawinan di pulau tersebut. Di sebagian
Amerika Serikat, saat itu, hanya 45% saja orang-orang tunarungu yang menikah.
Di pulau tersebut, hanya 35% dari penduduk tunarungu yang menikah dengan sesame
tunarungu lainnya. Angka-angka ini sungguh berbeda dibandingkan statistic
nasional saat itu. Selama periode tersebut, 79% penduduk Amerika Serikat yang
tunarungu menikahi orang-orang yang tak dapat mendengar. Penduduk yang
tunarungu di Perkebunan Anggur Martha memiliki anak dan memiliki keluarga
besar, seperti halnya tetangga yang normal.
Penduduk yang tunarungu di pulau
tersebut bekerja di berbagai lapangan kerja dan memiliki kesempatan yang sama
untuk mendapatkan keberhasilan secara ekonomi seperti saudara dan tetangganya
yang normal. Sedangkan di pulau induk, sejumlah kecil orang yang tunarungu
sangat terbatas dalam pilihan-pilihan pekerjaan dan mendapatkan bayaran lebih
kecil disbanding orang-org orang-orang ang normal. Pola-pola keterbatasan
ekonomi, pekerjaan, social, dan individu tunarungu terus berlanjut sampai
sekarang, tetapi Perkebunan Anggur Martha tidak lagi menjadi perkecualian dalam
hal ini.
Nora Ellen Groce mengakhiri Everyone Here Spoke Sign Language dengan
satu komentar dari seorang penduduk lama di situ yang dia wawancarai:
Kehidupan masyarakat pendahulu kami ini juga diceritakan pada saya, kisah
tentang keturunan penduduk yang tunarungu. Fakta yang mengagumkan mengenai
wanita dan pria tunarungu ini adalah mereka tidak menganggap cacat, sebab tak
seorangpun menganggap ketunarunguan mereka sebagai suatu cacat. Seperti yang
dikatakan seorang wanita kepada saya, “Anda tahu, kami pikir tidak ada yang
khusus dari mereka. Mereka persis seperti kita. Bila Anda mau memikirkannya,
pulau itu tempat yang sangat indah untuk dihuni. Memang begitulah.”
0 komentar:
Posting Komentar