Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The
United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan
Public Law (PL) 94-142, yang hampir identik dengan definisi yang dikeluarkan
oleh The National Advisory Committee on
Handicapped Children tahun 1967. Definisi tersebut berbunyi:
Kesulitan belajar khusus adalah
suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara,
membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup
kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan
afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki
problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam
penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena
gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Meskipun definisi USOE merupakan definisi resmi yang
digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan
pada definisi tersebut karena berbagai alasan. Lovitt (1989: 6) mengemukakan
lima macam kritik yaitu (1) berkenaan denga penggunaan istilah “anak”, (2) proses
psikologis dasar, (3) pemisahan mengeja dari ekspresi pikiran dan perasaan
secara tertulis, (4) adanya berbagai kondisi yang digabungkan menjadi satu, dan
(5) pernyataan bahwa kesulitan belajar dapat terjadi bersamaan dengan
kondisi-kondisi lain.
Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap
definisi PL 94-142 tersebut maka The
National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengemukan definisi
mengenai kesulitan belajar sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada
sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata
dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca,
menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan
tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf
pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya
kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan
sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya perbedaan
budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenetik, berbagai
hambatan tersebut, bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Definisi ini memiliki kelebihan dibandingkan definisi
sebelumnya karena: (1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, (2)
menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”, (3) tidak memasukkan mengeja
sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan yang mengekspresikan bahasa
tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (gangguan
perseptual, disleksia, disfungsi minimal otak) yang akan dapat membingungkan,
dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersama
dengan kondisi-kondisi lain.
Meskipun definisi yang dikemukakan oleh NJCLD memiliki
kelebihan bila dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan dalam PL 94-142, The Board of the Association for Children
and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) tidak menyetujui definisi
tersebut, dank arena itu mereka mengemukakan definisi tentang kesulitan
belajar, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah
suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif
mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau
non-verbal.
Kesulitan belajar khusus tampil
sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki
inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang
cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut
bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat berpengaruh
terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan/atau aktivitas
kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Meskipun terdapat perbedaan antara tiga definisi yang telah
dikemukakan, akan tetapi ketiganya memiliki beberapa titik-titik kesamaan,
yaitu: (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan dalam
tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi,
dan (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Di Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan
belajar. Para guru umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi
belajar rendah disebut siswa berkesulitan belajar. Dalam kondisi seperti itu,
kiranya dapat dipertimbangkan untuk mengadopsi definisi yang dikemukakan oleh
ACALD untuk digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sumber
:
Abdurahman,
Mulyono. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar