Anak berkesulitan
belajar hendaknya belajar di sekolah biasa atau sekolah regular bersama anak
lain yang tidak berkesulitan belajar. Meskipun demikian, anak berkesulitan
belajar memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Pemberian pelayanan pendidikan
khusus bagi anak berkesulitan belajar inilah yang akan dibahas pada bab ini. Pembahasan
akan mencakup empat hal, yaitu berbagai pilihan penempatan, peranan guru anak
berkesulitan belajar, hubungan antara orang tua dengan guru, dan program
bimbingan bagi orang tua.
1.
Berbagai
Pilihan Penempatan
Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan
pelayanan pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu
dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan, kebutuhan
anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan keterampilan social dan
akademik anak. Suatu tim yang menangani anak berkesulitan belajar biasanya
menganjurkan untuk memilih suatu sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan
beberapa tipe pelayanan.
Menurut Lerner (1988: 141) ada tiga sistem penempatan yang banyak dipilih oleh
sekolah, yaitu kelas khusus
(special class), ruang sumber (resource room), dan kelas regular (regular
class). Menurut Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika
Serikat memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber, dan 15
persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan dibahas
pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang sumber, dan kelas
regular.
a. Kelas khusus
Sekolah
yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya menempatkan 10 atau 20 anak
berkesulitan belajar dalam satu kelas, pengelompokan, dapat didasarkan atas
taraf kesulitan atau faktor-faktor lain. Ada dua macam kelas khusus yang biasa digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar
dan kelas khusus untuk bidang
studi tertentu.
Dalam
kelas khusus sepanjang hari belajar anak berkesulitan belajar diajar oleh guru
khusus. Mereka berinteraksi dengan anak yang tidak berkesulitan belajar hanya
pada saat beristirahat. Jenis pelayanan ini adalah yang paling bersifat
membatasi pergaulan anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak
berkesulitan belajar dalam sistem pendidikan integatif.
Dalam
kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak belajar bidang studi yang
tidak dapat mereka ikuti di kelas regular. Untuk bidang-bidang studi seperti
olahraga, musik, kerajinan tangan, dan bidang studi lain yang dapat dilakukan
bersama anak yang tidak berkesulitan belajar, mereka melakukan bersama.
Sebagian besar dari waktu yang digunakan di dalam kelas khusus jenis ini
umumnya untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung, dan kadang-kadang juga
tentang keterampilan sosial atau aspek khusus dari bahasa.
Sistem
pemberian pelayanan dalam kelas khusus tidak hanya memiliki keuntungan tetapi
juga memiliki kekurangan. Keuntungan
dari sistem pemberian pelayanan ini adalah : (1) pembelajarannya menjadi lebih
efektif karena pengelompokannya homogen dan (2) anak berkesulitan belajar lebih
banyak menperoleh pelayanan yang bersifat individual dari guru. Adapun kekurangan dari sitem
pemberian pelayanan ini adalah : (1) anak berkesulitan belajar sering
memperoleh cap negatif yang dapat mengganggu kepercayaan diri, sikap negatif
dari keluarga, dan harapan untuk berhsil yang rendah dari guru; dan (2) anak
berkesulitan belajar cenderung hanya dapat berimitasi dengan sesama
mereka.
b. Ruang sumber
Ruang
sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan
pendidikan khusus bagi anak yang membutuhkan, terutama yang tergolong
berkesulitan belajar. Di dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan
berbagai media pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya
berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca, menulis,
dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial dituntut untuk menguasai bidang
keahlian yang berkenaan dengan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru
sumber diharapkan juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi
konsultan bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 sampai 20
anak tiap hari.
Pemberian
pelayanan dalam bentuk sumber memiliki keuntungan tetapi juga kekurangan. Kelebihannya adalah (1) anak
yang memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial memperoleh
bantuan dari guru yang terlatih dan (2) anak berkesulitan belajar tetap berada
di dalam kelas regular sehingga mereka dapat bergaul dengan anak yang tidak
tergolong berkesulitan belajar. Adapun kekurangan sistem pemberian pelayanan jenis ini adalah (1)
meningkatkan jumlah waktu terbuang untuk pindah dari kelas regular ke ruang
sumber, (2) mengurangi kemampuan guru kelas atau guru regular untuk menangani
anak secara individual, (3) meningkatkan kemungkinan adanya inkosnsistensi
pendekatan pembelajaran, (4) meningkatkan jumlah spesialis yang bekerja untuk
anak yang dapat menimbulkan pelayanan yang terpecah-pecah, dan (5) dapat
meningkatkan konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.
c. Kelas regular
Jenis
pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk mengubah citra tentang
adanya dua tipe anak, yaitu anak yang berkesulitan belajar dan anak yang tidak
berkesulitan belajar. Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak
berkesulitan belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga memungkinkan
semua anak, baik yang berkesulitan belajar maupun yang tidak berkesulitan
belajar. Suasana belajar kopereatif diciptakan untuk menghindari terjadinya
duplikasi pemberian pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual
diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan belajar
maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak berbakat (gifted and
talented). Dalam kelas regular semacam ini, berbagai metode untuk kedua jenis
anak digunakan bersama.
Sistem
pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular memiliki banyak keuntungan
tetapi juga memiliki banyak kekurangan. Berbagai keuntungan dari sistem ini adalah:
(1)
Anak berkesulitan belajar akan
menggunakan anak yang tidak berkesulitan belajar sebagai model perilaku mereka
(2)
Mengelola anak berkesulitan belajar di
kelas regular lebih murah daripada menyediakan mereka pelayanan dan situasi
khusus
(3)
Anak yang tidak berkesulitan belajar
dapat menjadi lebih mudah memahami adanya perbedaan antarindividu; dan
(4)
Guru regular dimungkinkan untuk menjadi
lebih dapat menyesuaikan pembelajaran mereka dengan karakteristik individual
semua anak
Adapun
berbagai kekurangan sistem
pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular adalah :
(1)
Anak berkesulitan belajar kurang
memperoleh pelayanan individual
(2)
Anak berkesulitan belajar masih mungkin
memperoleh cap negatif dari anak yang tidak berkesulitan belajar
(3)
Anak berkesulitan belajar mungkin akan
sering gagal karena sulitnya bahan dan tugas
(4)
Anak berkesulitan belajar akan dirugikan
karena memperoleh pelayanan PLB yang sistematis dan latihan keterampilan dasar
yang cukup, dan
(5)
Semangat juang (morale) guru kelas atau
guru regular mungkin akan terpengaruh secara negatif karena banyak di antara
mereka yang tidk dipersiapkan untuk menangani anak berkesulitan belajar.
2. Peranan Guru Khusus Untuk Anak Berkesulitan
Belajar
Di Negara kita guru khusus bagi anak berkesulitan belajar
masih sangat langka. Meskipun Jursan Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP Jakarta
telah menyelenggarakan pendidikan guru khusus bai anak berkesulitan belajar
sejak tahun 1970-an, penempatan lulusnannya ke dalam sistem persekolahan masih
mengalami banyak kesulitan. Para lulusan bidang kekhususan pendidikan bagi anak
berkesulitan belajar pada jurusan tersebut umumnya bekerja di sekolah-sekolah
swasta yang sudah memiliki perhatian untuk itu. Pada tahun akademik tahun 1992-1994
kurikulum jurusan PLB telah secara tegas mencantumkan adanya bidang kekhususan
pendidikan anak berkesulitan belajar. Mulai tahun akademik tersebut, jurusan
PLB membuka tujuh bidang kekhususan yaitu (1) pendidikan bagi anak tunanetra,
(2) pendidikan bagi anak tunanetra, (3) pendidikan bagi anak tunagrahita, (4)
pendidikan bagi anak tunadaksa, (5) pendidikan bagi anak tunalaras, (6)
pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, dan (7) pendidikan bagi anak
berbakat.
Dengan dibukanya bidang kekhususan baru, pendidikan bagi
anak berkesulitan belajar dan pendidikan bagi anak berbakat, maka kedua
lapangan pekerjaan bidang kekhususan tersebut perlu dibuka agar mutu pelayanan
pendidikan lebih meningkat.
Ada sembilan
peranan guru khusus bagi anak berkesulitan belajar di sekolah (Lerner,
1988:147). Kesembilan peranan tersebut adalah :
(1)
Menyusun rancangan program identifikasi,
asesmen, dan pembelajaran anak berkesulitan belajar;
(2)
Berpartisipasi dalam penjaringan,
asesmen, dan evaluasi anak berkesulitan belajar;
(3)
Berkomunikasli dengan para ahli yang
terkait dan menginterpretasikan laporan mereka;
(4)
Melaksanakan tes, baik dengan tes formal
maupun informal;
(5)
Berpartisipasi dalam penyusunan program
pendidikan yang diindividualkan (individualited education programs);
(6)
Mengimplementasikan program pendidikan
yang diindividualkan;
(7)
Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara
dengan orang tua;
(8)
Bekerja sama dengan guru regular atau
guru kelas untuk memahami anak dan menyediakan pembelajaran yang efektif; dan
(9)
Membantu anak dalam mengembangkan
pemahaman diri dan memperoleh harapan untuk berhasil serta keyakinan
kesanggupan mengatasi kesulitan belajar
Ada dua
kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru bagi anak berkesulitan belajar,
yaitu kompetensi teknis
(technical competence) dan kompetensi konsultasi kolaboratif (ollaborative consultation
competencies) (Lerner, 1988: 148). Kompetensi teknis mencakup (1)
memahami berbagai teori tentang berkesulitan belajar, (2) memahami berbagai tes yang terkait dengan kesulitan
dengan kesulitan belajar, (3) terampil dalam melaksanakan asesmen dan evaluasi,
dan (4) terampil dalam mengajarkan bahasa lisan, bahasa tulis, membaca,
matematika, mengelola perilaku, dan terampil dalam memberikan pelajaran
prevokasional dan vokasional. Kompetensi konsultasi kolaboratif mencakup
kemampuan dengan upaya memberikan bantuan kepada anak berkesulitan belajar.
Orang-orang yang terkait dengan upaya memberikan bantuan kepada anak tersebut
terutama adalah guru regular atau guru kelas, administrator sekolah, tim ahli
(dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya), dan orang tua.
Guru regular sering tidak memperoleh latihan dalam bidang
PLB dan tidak dipersiapkan untuk mengajar anak berkesulitan belajar. Mereka
sering takut terhadap tanggung jawab dan enggan menerima tugas tambahan untuk
membantu anak berkesulitan belajar. Padahal, tujuan pembelajaran yang dirancang
untuk anak hanya dapat dicapai jika semua orang yang telibat dalam memberikan
bantuan kepada anak tersebut berfungsi secara terintegrasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsultasi
kolaboratif yang dapat meningkatan kerja sama antarorang-orang yang
terlibat dalam upaya memberikan bantuan kepada anak berkesulitan belajar.
Perlu dibedakan antara konsultasi dan kolaborasi. Dalam konsultasi, seorang
professional (misalnya, guru bagi anak berkesulitan belajar) menjalin hubungan
dengan seorang cocultee (misalnya, guru kelas regular). Problema konsultasi
akan muncul jika kedua belah pihak saling tidak menganggap pakar dan guru kelas
tidak bersedia menerima anjuran “pakar” tersebut. Dalam kolaborasi, kedua belah
pihak, baik guru bagi anak berkesulitan belajar maupun guru kelas diasumsikan
memiliki taraf keahlian yang setara terhadap situasi permasalahan yang
dihadapi, yang memungkinkan terjadinya interaksi yang terbuka. Dalam konsep
konsultasi kolaboratif sifat konsultasi dan kolaborasi digabungkan sehingga
tercipta suasana kesejawatan yang setara. Di samping dengan guru kelas, guru
bagi anak berkesulitan belajar juga melakukan konsultasi kolaboratif dengan administrator,
professional lain (dokter, psikolog, konselor sekolah, dan sebagainya), dan
orang tua.
Idol, Paulucci-Whitchomb, dan Mevin seperti dikutip oleh
Lerner (1988: 149) mendefinisikan konsultasi kolaboratif sebagai suatu proses
interaksi yang memungkinkan orang dengan keahlian yang berbeda menghasilkan
solusi kreatif terhadap masalah yang diterrapkan bersama. Hasilnya adalah
mempertinggi, mengubah, dan menghasilkan solusi yang berbeda dari yang
dihasilkan oleh anggota tim secara mandiri. Hasil utama dari konsultasi
kolaboratif adalah tersedianya program yang komprehensif dan efektif, sehingga
dengan demikian memungkinkan anak berkesulitan belajar mencapai interaksi
konstruktif dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Ada beberapa prinsip konsultasi kolaboratif yang perlu
diperhatikan. Beberapa prinsip tersebut adalah seperti dikemukakan berikut ini
:
a. Tujuan
umum. Tujuan umum program pembelajaran anak berkesulitan belajar harus disadari
oleh semua personel sekolah. Jika tiap personel sekolah bekerja dengan tujuan
yang berbeda, maka anak dapat menimbulkan konflik dan ketidakpuasan.
b. Komunikasi
terbuka dan jelas. Suatu sistem komunikasi yang terencana diperlukan untuk
membantu menetapkan dasar-dasar perceptual umum antaranggota yang terlibat
dalam upaya penanggulangan kesulitan belajar. Sistem komunikasi semacam itu
perlu menyediakan suatu kesempatan yang terjadwal untuk menjelaskan berbagai
persoalan yang muncul secepat mungkin. Jika berbagai persoalan berlanjut tanpa
adanya kesempatan untuk berkomunikasi tatap muka, ketidakpuasan akan meningkat
dan kesalahpahaman akan mudah terjadi.
c. Kejelasan
tanggung jawab. Adalah hal yang sangat penting untuk menjelaskan tanggung jawab
semua orang yang terlibat upaya penangulangan kesulitan belajar. Tanpa adanya
kejelasan tanggung jawab masing-masing anggota akan mudah terjasi konflik dan
disfungsi.
d. Menanggulangi
konflik. Jika berbagai masalah muncul, berbagai metode untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut harus dikembangkan. Berbagai masalah tersebut tidak
boleh diabaikan tetapi juga tidak boleh dipecahkan secara paksa. Semuainformasi
harus ditampatkan terbuka, dan berbagai problema harus dihadapi oleh semua
orang yang terkait.
e. Waktu
dan fasilitas yang cukup. Tanpa adanya waktu yang cukup untuk merancang,
mengomunikasikan, dan mengevaluasi, program pendidikan bagi anak berkesulitan belajar akan banyak
mengalami kesulitan dalam kegiatan sekolah yang padat. Ruangan, waktu, dan
jaminan bahwa pertemuan-pertemuan tidak terganggu sangat diperlukan untuk kerja
produktif.
Kerja
sama antaranggota tim sangat diperlukan dalam penangaulangan kesulitan belajar.
Ada berbagai aktivitas yang diharapkan dapat meningkatkan kerja sama atau
kolaborasi. Berbagai aktivitas tersebut adalah seperti dikemukakan berikut ini.
1.
Pendidikan service. Guru regular dan
personel sekolah yang lain sering tidak dibekali pengetahuan tentang pendidikan
bagi anak berkesulitan belajar. Agar semua personel sekolah bersedia memberikan
dukungan dan menjalin kerja sama dalam upaya membantu anak berkesulitan belajar,
maka diperlukan adanya pendidikan inservice
bagi mereka.
2.
Demonstrasi. Guru bagi anak berkesulitan
belajar dapat mendemonstrasikan kepada personel sekolah tentang bahan, metode,
teknik, dan tes yang digunakan untuk memecahkan masalah kesulitan belajar.
3.
Metode studi kasus. Diskusi yang
mendalam tentang seorang anak berkesulitan belajar dapat melibatkan guru kelas
dan personel sekolah lain. Melalui studi kasus diharapkan para guru dapat
memahami proses asesmen, intervensi, dan aspek-aspek lain dari kesulitan
belajar.
4.
Pengalaman klinis. Kerja sama
antarpersonel sekolah dapat dilakukan dengan melibatkan mereka secara langsung
dalam pelaksanaan diagnosis dan pengajaran. Pengalaman semacam ini dapat
meningkatkan pemahaman guru tentang kesulitan belajar sehingga mereka memahami
pula arti kerja sma dalam upaya pemecahannya.
5.
Pembicara tamu dan menghadiri seminar.
Menghadirkan pakar pendidikan anak berkesulitan belajar untuk memberikan
ceramah di sekolah merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan sikap positif
para guru kelas sehingga mereka bersedia memberikan urunan tenaga dan pikiran
untuk memecahkan masalah kesulitan belajar. Upaya lain adalah dengan meminta
kepada para guru atau personel sekolah lain untuk hadir dalam seminar atau
symposium tentang anak berkesulitan belajar.
6.
Laporan berkala. Laporan berkala atau
jurnal yang berkaitan dengan kesulitan belajar. Hendaknya menjadi salah satu
bacaan yang disediakan oleh sekolah bagi para guru. Bacaan semacam ini
diharapkan dapat meningkatkan sikap positif guru terhadap upaya penanggulangan
kesulitan belajar.
3. Hubungan Orang Tua Dan Guru
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu
memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang
berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka
yang berkesulitan belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima
kenyataan, (2) kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana
adanya.
Sikap menolak atau tidak dapat menerima kenyataan sering
diperlihatkan dalam bentuk adanya hubungan saying-benci dan menerima-menolak
anak. Hubungan sayang-benci merupakan sikap ambivalensi, kadang-kadang sayang
dan kadang-kadang benci terhadap anaknya yang tergolong berkesulitan belajar.
Begitu pula dengan sikap menerima-menolak, orang tua di suatu saat dapat
menerima anak sebagaimana adanya tetapi di saat lain menolak. Sikap orang tua
yang membenci dan menolak anak berkesulitan belajar tidak hanya dapat
menghambat anak untuk menyesuaikan diri dengan kesulitannya tetapi juga
menghambat komunikasi di dalam keluarga sehingga pada gilirannya dapat
menimbulkan rasa tidak aman pada anak. Bentuk reaksi kompensasi yang berlebihan
tampak dari adanya kecenderungan orang tua untuk bersikap tidak realistic, kaku
atau keras, dan memberikan perlindungan yang berlebihan. Orang tua yang semacam
ini itu sering memperlihatkan semangat yang berlebihan, memberikan latihan
secara terus-menerus, dan mengharapkan anaknya dapat menjadi superior. Sikap
orang tua semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi cerdas berlebihan
sehingga pada gilirannya menghambat pencapaian belajar yang optimal.
Orang
tua yang bersikap menerima anak berkesulitan belajar apa adanya adalah yang
paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sesunguhnya sulit untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan menerima anak apa
adanya. Menurut Robinson seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), yang dimaksud
dengan menerima anak adalah
menghargai apa yang dimiliki anak, menyadari kekurangannya, dan aktif menjalin
hubungan yang menyenangkan dengan anak. Bertolak dari penghargaan atas
apa yang dimiliki anak dan penerimaan atas apa yang tidak dimiliki anak, orang
tua menjalin hubungan yang wajar dan berupaya mengembangkan potensi yang masih
dimiliki oleh anak untuk mempersiapkan tugasnya di masa depan. Menurut Wortis
seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), ada dua indikator dari orang tua yang
menerima anak apa adanya, yaitu (1) tetap melakukan aktivitas kehidupan yang
normal dan (2) berupaya mempertemukan anak dengan kebutuhannya.
Menurut Mercer (1979: 95), sikap menerima anak apa adanya
adalah tahapan akhir dari penyesuaian orang tua dalam menghadapi anaknya yang
berkesulitan belajar. Ada lima
tahapan penyesuaian orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan
belajar, yaitu (1) menyadari adanya masalah, (2) mengenal masalah, (3)
mencari penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5)
menerima anak apa adanya.
Kesadaran terhadap adanya masalah biasanya muncul pada saat
orang tua melihat adanya gejala-gejala penyimpangan yang negatif pada anak.
Gejala-gejala tersebut antara lain adalah (a) belum dapat duduk pada usia
sembilan bulan, (b) belum dapat berjalan pada usia 18 bulan atau dua tahun, (c)
belum dapat bicara satu kata yang dapat dimengerti pada usia tiga tahun, (d)
sering pandangannya kosong, (e) tangannya kaku dan canggung, (f) sering
terantuk dan jatuh, (g) memberikan reaksi yang keras terhadap peristiwa yang
remeh, (h) tidak mudah tertawa, dan (i) tidak menyukai permainan
sembunyi-sembunyi atau cilukba. Jika ibu mengetahui gejala-gejala awal tersebut
biasanya akan memberitahukan kepada ayah, dan mereka umumnya mulai menyadari
tentang adanya masalah pada anak mereka. Menyadari adanya masalah tersebut
biasanya orang tua berusaha mencari informasi professional kepada guru TK atau
kepada dokter anak.
Setelah orang tua memperoleh informasi dari dokter bahwa
anaknya memiliki penyimpangan yang dapat mengganggu proses belajar, orang tua
biasanya memberikan reaksi yang bermacam-macam. Reaksi tersebut dapat dapam
bentuk pertengkaran orang tua, berpindah-pindah dokter untuk meyakinkan hasil
diagnosis (dokter shopping), dan ada pula orang tua yang menggunakan mekanisme
pertahanan diri untuk mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh keadaan yang
tidak disukai. Pertengkaran orang tua biasanya terjadi karena adanya perbedaan
reaksi antara ibu dan ayah dalam menghadapi masalah. berpindah-pindah dokter
terjadi karena orang tua ingin meyakinkan ketepatan diagnosis. Kesulitan-kesulitan,
terutama yang tergolong ringan, sering sukar didiagnosis pada masa usia
prasekolah.
Untuk mengurangi kecamasan, ada orang tua yang
menggunakan mekanisme pertahanan diri. Bentuk mekanisme pertahanan diri yang
paling umum dan paling primitif menurut Mercer (1979: 96) adalah penyangkalan
(denial). Orang tua mungkin mengatakan bahwa anaknya memiliki kemampuan tinggi
sehingga membuat tuntutan-tuntutan yang tidak realistik, misalnya dengan
mengantarkan anak mengikuti les piano, les menari, dan sebagainya. Mungkin
orang tua menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam bentuk memberikan
perlindungan yang berlebihan (overprotection) dengan melarang anak
berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan dan disukai anak. Harapan
yang berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi bergantung pada orang lain atai
tidak mandiri. Pada tahap pengakuan adanya masalah ini hendaknya orang tua
diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapinya. Jika
orang tua telah siap untuk mengakui adanya masalah, maka ia baru dapat diajak
untuk menyiapkan perkembangan anak selanjutnya.
Setelah tahap mengakui adanya masalah, orang tua biasanya
memasuki tahap mencari penyebab. Menurut Robinson dan Robinson seperti dikutip
Mercer (1979: 7), ada dua alasan orang tua mencari penyebab kesulitan belajar.
Pertama, dengan mengetahui penyebab diharapkan dapat ditemukan jalan untuk
memperbaiki atau mencegah kesulitan belajar. Kedua, dengan mengetahui penyebab,
diharapkan dapat mengurangi beban berat perasaan berdosa. Orang tua mungkin
menjadi sangat frustasi karena penyebab kesulitan belajar sukar dipahami.
Diagnosis umumnya didasarkan pada manifestasi perilaku, bukan pada dasar
neurologic atau generic, dan di samping itu orang tua mungkin menemukan
berbagai teori yang berbeda-beda tentang penyebab kesulitan belajar.
Tahapan berikutnya adalah mencari penyembuhan. Kebanyakan
orang tua mencari penyembuhan didasarkan atas pandangan etiologis atau penyebab
tertentu. Jika penyebabnya kekurangan vitamin, mungkin akan disembuhkan dengan
memberikan vitamin. Jika penyebabnya disfungsi otak minimal, mungkin akan
disembuhkan dengan latihan-latihan perceptual motor, dan jika penyebabnya
pendidikan yang keliru, mungkin akan disembuhkan dengan memanipulasi lingkungan
untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan. Macam-macam
penyembuhan tersebut sesungguhnya masih hipotesis dank arena itu guru hendaknya
memberikan informasi atau pengarahan yang cukup.
Tahapan terakhir penyesuaian orang tua dalam menghadapi
anak berkesulitan belajar adalah menerima anak sebagaimana adanya. Setelah
melalui tahapan-tahapan sebelumnya, biasanya orang tua sampai pada tahapan
akhir penyesuaian ini. Jika orang tua telah sampai pada tahapan inilah
pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar biasanya dapat mencapai kemajuan.
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu
menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua – guru dapat
menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolah. Baik orang tua maupun guru
sering merasa khawatir saat hadir dalam pertemuan semasam itu. Para orang tua
umumnya khawatir terhadap laporan guru tentang anak mereka sedangkan guru
umumnya khawatir terhadap reaksi negatif dari para orang tua. Pertemuan orang
tua guru, hendaknya dipandang oleh kedua belah pihak sebagai wahana untuk
membangun anak. Dengan melakukan koordinasi berbagai upaya, orang tua guru
dapat bekerja sama untuk membantu anak mencapai kemajuan.
Dalam menyelenggarakan sutu pertemuan, guru hendaknya
berusaha meyakinkan orang tua bahwa mereka akan diajak berkomunikasi dalam
hubungan antarmanusia, bukan hubungan dengan sistem yang impersonal. Guru
hendaknya memperlihatkan perhatian mereka terhadap anak dan penghargaan
terhadap orang tua, dan bukan memperlihatkan kesombongan. Berbagai kesulitan
hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan menghindari istilah-istilah
teknis. Para orang tua umumnya ingin memahami sifat masalah, dank arena itu
data diagnostic dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya dijelaskan
kepaa orang tua. Para orang tua hendaknya juga dibantu untuk menjadi peka
terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak mereka di sekolah.
Para orang tua umumnya ingin mengetahui tentang bantuan
yang dapat mereka berikan kepada anak di rumah. Ada berbagai aktivitas yang menurut
Mercer (1979: 102) dapat dikerjakan oleh orang tua di rumah untuk membantu anak, yaitu (1) melakukan observasi perilaku
anak, (2) memperbaiki perilaku anak, (3) mengajar anak
Orang tua mempunyai lebih banyak waktu untuk bergaul
dengan anak sehingga mereka dapat lebih leluasa untuk melakukan observasi
perilaku anak bila dibandingkan dengan guru, dokter, atau konselor. Oleh karena
itu, melatih orang tua untuk mengembangkan keterampilan melakukan observasi
perilaku anak merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi upaya membantu
anak berkesulitan belajar. Hasil observasi orang tua dapat dilaporkan kepada
guru, dokter atau konselor sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi
masalah kesulitan belajar anak. Adapun perilaku anak yang perlu diobservasi
oleh orang tua antara lain adalah berkaitan dengan kemampuan anak bermain
bersama kaka atau adiknya, jenis permainan yang disukai, kebiasaan
makan,kebiasaan tidur, dan benda atau peristiwa yang ditakuti anak.
Anak berkesulitan belajar sering memperlihatkan banyak
masalah perilaku. Beberapa masalah perilaku yang paling umum adalah
hiperaktivitas, kecanggungasnmdan emosi yang labil. Untuk memperbaiki perilaku
tersebut, orang tua dapat mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh guru
bagi anak berkesulitan belajar, dokter, atau psikolog. Dengan demikian,
berbagai upaya untuk memperbaiki perilaku anak tidak hanya dilakukan di sekolah
tetapi juga di rumah.
Masyarakat umumnya memandang bahwa tugas orang tua di
rumah adalah menanamkan kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan
sosialnya. Orang tua diharapkan dapat mengajarkan kepada anak tentang norma dan
keterampilan sosial. Tetapi, mengenai pelajaran akademik, ada dua macam
pandangan. Pertama, pandangan yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan
bidang akademik kepada anak. Kedua, pandangan yang menganjurkan agar orang tua
mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah. Pandangan yang tidak
memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alasan
(1) orang tua tidak memiliki keterampilan mengajar yang esensial, (2) sering
menimbulkan ketegangan dan frustasi pada anak, (3) waktu anak untuk bermain
menjadi berkurang, dan (4) orang tua mungkin akan merasa bersalah jika tidak
memiliki waktu untuk mengajar anak. Pandangan yang menganjurkan agar orang tua
mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alas an bahwa (1) jika
mendapat latihan orang tua dapat berfungsi sebagai guru di rumah, dan (2) orang
tua menjadi pelengkap bagi pembelajaran di sekolah.
Perlu tidaknya orang tua menjadi guru bagi anak mereka di
rumah tergantung pada berbagai keadaan. Jika orang tua mampu menjalin hubungan
yang baik dengan anak, menguasai bahan pelajaran dan metode pengajarannya, dan
memiliki waktu untuk mengajar, ada baiknya orang tua menjadi guru bagi anak
mereka di rumah. Tetapi, jika orang tua menjadi tegang, frustasi, kecewa, atau
tidak sabar pada saat mengajar, orang tua semacam ini sebaiknya tidak menajadi
guru bagi anak mereka di rumah. Beberapa pertimbangan lain untuk memutuskan
apakah orang tua perlu mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah adalah
kemungkinan waktu anak untuk bermain menjadi berkurang, kemungkinan menimbulkan
perasaan iri pada anaknya yang lain, dan apakah pengajaran tersebut dapat menyenangkan
anak atau tidak.
4. Program Bimbingan Dan Latihan Bagi Orang
Tua
Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di
sekolah telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang
tua di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini akan
dikemukakan program bimbingan dan program latihan bagi orang tua.
a. Program
Bimbingan bagi Orang Tua
Menurut McDowell seperti dikutip
oleh Mercer (1979: 100), ada dua
macam pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan pendekatan psikoterapetik.
Pendekatan informasional menekankan pada penyediaan pengetahuan bagi orang tua
tentang kesulitan belajar. Mercer mengemukakan contoh pendekatan ini dengan
suatu pertemuan berangkai yang diselenggarakan oleh McWirter. Sekolah
menyelenggarakan suatu rangkaian pertemuan bagi orang tua anak berkesulitan
belajar dan kepada mereka diberikan informasi tentang anak berkesulitan belajar
dan latihan untuk menanggulanginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan-pertemuan
semacam itu sangat berharga bagi orang tua.
Pendekatan psikoterapetik memusatkan
perhatian pada usaha membantu orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan
emosional yang disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow seperti dikutip oleh
Mercer (1979: 104) ada beberapa
macam strategi pemberian bantuan bagi anak berkesulitan belajar seperti
dikemukakan berikut ini.
1.
Hanya intervensi pendidikan. Strategi
ini ditujukan kepada anak berkesulitan belajar tanpa gangguan emosional, yang memiliki
keluarga stabil dan harmonis
2.
Hanya terapi individual. Strategi ini
ditujukan kepada anak berkesulitan belajar yang orang tuanya memiliki gangguan
yang sulit disembuhkan seperti orang tua yang pecandu obat bius, peminum
alcohol, psikotik, atau yang menolak anak.
3.
Bimbingan kelompok orang tua. Strategi
ini untuk orang tua yang baik, yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari
pertemuan-pertemuan kelompok yang berupaya memecahkan masalah kesulitan belajar
anak-anak mereka.
4.
Terapi individual dan tutorial. Strategi
ini untuk anak berkesulitan belajar yang membutuhkan intervensi akademik yang
sistematik dan orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan (lihat b)
5.
Terapi bersamaan anak dan orang tua
dengan pemberian terapi yang berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian
terapi kepada anak dan orang tua secara bersamaan dapat menimbulkan kecemasan
dan perasaan tertekan.
6.
Terapi bersamaan anak dan orang tua
dengan pemberian terapi yang sama. Strategi ini tepat digunakan jika orang tua
dan anak dapat menjalin interaksi koperatif.
7.
Terapi keluarga yang terdiri dari anak,
orang tua, dan saudara-saudara kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi
keluarga yang dapat memecahkan masalah dengan menciptakan lingkungan sosial
yang saling menunjang atau koperatif.
Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi
yang cenderung menekankan pada peran orang tua dalam memecahkan masalah
emosional anak, yang memandang perlu adanya perbaikan keseluruhan lingkungan
keluarga.
b. Program
Latihan bagi Orang Tua
Program ini ditujukan kepada orang
tua untuk memperoleh keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola
perilaku anak secara efektif di rumah. Menurut McDowell seperti dikutip oleh
Mercer (1979: 101) ada dua pendekatan dalam program latihan bagi orang tua,
yaitu (a) pendekatan komunikasi (communication approach) dan (b) pendekatan
keterlibatan (involvement approach).
Pendekatan komunikasi menekankan
pada penyelenggaraan komunikasi langsung antara orang tua dengan anak;
sedangkan pendekatan keterlibatan menekankan pada upaya pemecahan masalah
praktis melalui kerja sama kelompok.
Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip
oleh Mercer (1979: 102) mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut
“C-Group” yang membantu orang tua memecahkan masalah praktis melalui kerja sama
(collaboration), konsultasi (consultation), klarifikasi (clarification),
konfrontasi (confrontation), perhatian dan pengasuhan (concern and caring),
kerahasiaan (confidentiality), dan tanggung jawab (commitment) pada perubahan.
Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk menyajikan masalah-masalah praktis
kepada kelompok dan kemudian mereka mencoba memecahkan masalahsesuai dengan
saran yang dikemukakan oleh kelompok.
Sumber :
Abdurrahman, Mulyono. Anak
Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. 2012. Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar