Assalamu’alaikum wr…wb…
Selamat malam para blogger… mau update dikit nih..hhhee
Berkenaan dengan Anak Berkebutuhan Khusus, khususnya lagi untuk anak
dengan autism..
Ini adalah catatan dari seorang dokter yang menangani
anak dengan autism. Untuk Semoga bermanfaat.
Pesan Untuk Orangtua
Bagi
orangtua yang anaknya baru saja didiagnosis autisme, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Jika orangtua tidak faham apa itu autisme, mungkin
diagnosis autisme tidak berpengaruh pada orangtua. Namun jika orangtua tahu
atau kemudian tahu atau faham tentang autisme, maka akan terjadi suatu
rangkaian reaksi yang disebut sebagai coping-mechanism yaitu sebagaimana yang
umum terjadi pada seseorang dalam menghadapi/mengalami suatu kenyataan berat
seperti misalnya saat seseorang diberitahu menderita kanker, atau saat
seseorang kehilangan orang yang dicintainya, dan lain sebagainya.
Reaksi/respons
yang pertama terjadi adalah awalnya orangtua akan syok, kaget, dan tidak
percaya serta mempertanyakan diagnosis. Bisa jadi kemudian orangtua mencari
second-opinion dari dokter yang lain, bahkan mungkin tidak cukup 1-2 dokter
saja. Hal ini bisa menyebabkan tertundanya intervensi dini yang sangat
dibutuhkan oleh anak autistik. Hal yang berbahaya ialah jika dalam perjalanan
shopping dokter ini, kemudian bertemu dengan dokter yang tidak menguasai
autisme tetapi dengan menyakinkan mengatakan bukan autisme, sehingga
menyebabkan orangtua tidak lagi mencoba mencari tahu atau mendapatkan
diagnosis.
Namun
orangtua yang memperhatikan anaknya, kemudian akan menyadari bahwa anak
autistiknya memang benar-benar berbeda dengan anak sepantarannya seumumnya,
apakah itu dibandingkan dengan kakaknya waktu seumur anaknya yang sekarang,
atau dibanding sepupu anaknya, atau dibanding anak teman atau tetangga. Yang
pasti orangtua yang memperhatikan anaknya akan melihat perbedaan tersebut, dan
atau menyadari bahwa anak autistiknya tidak juga mengalami kemampuan yang
diharap-harapkan misalnya tidak juga anak berbicara, dan atau semakin jelas
terlihat perilaku autistiknya. Jika kemudian orangtua melanjutkan lagi shopping
dokter untuk mendapatkan diagnosis, dan kemudian mendapati dokter yang bisa
menyakinkan atau bisa memberi diagnosis dengan yakin dan benar serta disertai
dasar-dasarnya, maka mungkin rangkaian respons/reaksi berikutnya yaitu marah
dan menyalahkan.
Pada
rangkaian respons yang berikut ini orangtua akan marah terhadap berbagai hal
dan menyalahkan segalanya. Mungkin marah dan menyalahkan diri sendiri, atau
saling menyalahkan antara suami-istri atau terhadap orang lain. Bahkan mungkin marah
kepada Tuhan yaitu kenapa diberi anak autistik, why me?!
Setelah
terjadinya respons/reaksi marah dan menyalahkan, hal yang berikut yang terjadi
yaitu penyangkalan (denial). Dalam tahap ini orangtua belum bisa menerima bahwa
kenyataannyalah anak mereka autistik, sehingga bukannya berjuang (fight) untuk
mengatasi autistik anak mereka, tetapi melakukan pelarian (flight) dari
kenyataan berat/pahit ini yaitu dengan menyakinkan diri sendiri bukan autistik.
Bahaya pada tahap ini adalah jika penyangkalan ini diperkuat oleh orang lain,
baik itu dokter/profesional ataupun bukan yang menyatakan bahwa anaknya bukan
autistik. Orangtua dapat tertahan/terperangkap di dalam fase penyangkalan ini,
yang akhirnya tidak melakukan usaha-usaha apapun.
Jika
fase penyangkalan (denial) dapat terlampaui, maka tahap berikutnya adalah fase
bertanya-tanya yaitu orangtua mencari tahu, mencari lebih banyak lagi informasi
tentang autisme dan diagnosis autisme. Yang akhirnya orangtua pasrah dan dapat
menerima kenyataan yang sebenarnya. Beruntunglah orangtua yang bisa melalui
fase-fase tersebut dan mencapai fase penerimaan/menerima (acceptance).
Perlu
diketahui bahwa untuk masing-masing orang, tahap-tahap sampai dengan penerimaan
ini berbeda-beda, baik berbeda dalam hal reaksi.respons yang keluar/tampak,
maupun dalam lamanya masing-masing fase berlangsung. Ada orang yang bisa
melalui seluruh fase ini dengan cepat sampai dengan ke fase penerimaan, namun
ada pula yang melalui dengan lambat di satu dua fase ini ataupun seluruh fase
ini. Ada juga orang yang tertahan/terperangkap dalam suatu fase, yaitu mungkin
tidak percaya terus, mungkin marah terus, atau menyangkal terus, atau mungkin
bertanya-tanya terus. Jika kita mengalami hal ini, maka sudah seharusnyalah
terlebih dahulu kita yang mendapat terapi. Salah satu terapi yang berperan
untuk penerimaan ini adalah terapi rohani, yaitu mendekatkan diri kepada Allah,
sabar dan tawakal, serta harus yakin terhadap taqdir berupa qodar baik dan
“buruk” yang sudah digariskan oleh Nya. Percayalah bahwa segala sesuatu yang
berasal dari Allah pastilah baik, pastilah Allah mempunyai rencana mengapa kita
dianugerahi anak autistik, dan rencana Allah pastilah baik. Tidak pernah
rencana Allah jelek atau menzhalimi umatNya, karena boleh jadi yang tidak kita
sukai/kehendaki sebenarnyalah baik bagi kita (sedangkan yang kita
sukai/kehendaki sebenarnya tidak baik bagi kita). Minimal, bahwa kita diberi
kepercayaan yang besar oleh Allah untuk mengurus dan menjaga seorang anak
spesial ini. Jika kita diberi kepercayaan oleh atasan di tempat kerja kita saja
bangga, diberi kepercayaan oleh seorang manusia saja kita berbangga, nah sudah
seharusnyalah dan sepatutnyalah jika kita teramat sangat-sangat-sangat bangga
diberi kepercayaan oleh Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta ini.
Jadi,
bagi orangtua, jangan membuang-buang waktu, tidak perlu lagi coba-coba metode
lain yang tidak mempunyai dasar ilmiah, dan/atau belum ada penelitian yang
membuktikan efektivitas dan efisiensinya. Saat ini sudah ada metode ABA yang
(almost) perfect seperti yang dikemukakan pada baris-baris sebelumnya, di
samping juga adanya Biomedical Intervention yang bukan merupakan ilmu baru dan
bukan ilmu alternatif, tetapi merupakan ilmu kedokteran mainstreaming karena
dasar-dasar ilmiahnya serta praktek-prakteknya adalah dari ilmu-ilmu kedokteran
yang sudah ada. Seorang sahabat yang anak autistiknya sudah cukup besar pada
tahun 2000 mengatakan kepada penulis bahwa “mungkin apa-apa yang kita rintis
sekarang ini bukan untuk anak-anak kita, tetapi pastilah orang-orangtua dan
anak-anak mereka sesudah generasi kita ini akan menikmati buah/hasil dari
rintisan kita saat ini”.
Jadi,
intinya pesan bagi orangtua yang anaknya didiagnosis autisme, adalah:
1. Ketahui dan sadari bahwa ada suatu
mekanisme yang merupakan suatu refleks tubuh dalam menghadapi suatu kenyataan
yang berat.
2. Jangan sampai berlama-lama apalagi
tertahan pada suatu fase yang menyebabkan tertundanya anak mendapat intervensi
dini yang sesuai. Mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli di bidang
kejiwaan/psikologi, bila perlu orangtua mendapat obat-obat yang sesuai. Terapi
yang jangan dilupakan dan yang terpenting adalah terapi rohani.
3. Jika lingkungan melihat orangtua tidak
dapat menerima kenyataan (tidak mencapai tahap penerimaan) dengan segera (atau
suami/istri mengetahui bahwa kondisi pasangannya adalah demikian), maka
sebaiknya menolong dengan misalnya menghubungi alim-ulama/pemuka-agama yang
“suaranya (nasihatnya) didengar” oleh orangtua tersebut.
4. Setelah melewati masa berduka ini,
segeralah mempelajari segala sesuatu tentang autisme, dan terutama tentang
terapi yang tepat untuk autisme.
5. Orangtua harus kritis terhadap berbagai
hal, terutama sekali tentang metode terapi dan/atau terapis dan/atau
tempat-tempat terapi.
a. Pilihlah terapis/tempat-terapi yang
menggunakan metode terapi yang dirancang khusus untuk autistik dan yang secara
ilmiah telah terbukti efektif dan efisien. Karena banyak terapis/tempat-terapi
yang tidak menggunakan metode tertentu, atau metode yang bukan dirancang untuk
autisme, atau metode yang tidak ada dasar ilmiahnya maupun tidak ada penelitian
ilmiah yang membuktikan metode itu efektif dan efisien.
b. Pilihlah terapis/tempat-terapi yang
yakin bahwa autisme adalah suatu kondisi yang dapat disembuhkan. Oleh karena sementara
ini ada orang-orang yang masih mempunyai keyakinan bahwa autisme tidak bisa
sembuh/disembuhkan. Orang-orang seperti itu pastilah tidak akan serius
menangani anak autistik kita, oleh karena mungkin mereka akan berpikir “serius
tidak serius, toh tidak akan sembuh, jadi lebih baik santai sajalaaah...”.
Hanya mereka yang yakin bahwa autisme bisa sembuh/disembuhkan yang akan
“jumpalitan” mengerahkan segala tenaga dan kemampuan dalam menangani anak-anak
autistik kita.
c. Tanyakan assessment (penilaian) sebelum
terapi dimulai. Tanyakan kurikulum/program/aktivitas yang akan
dilakukan/diterapkan pada anak kita. Teliti dan tanyakan kaitan antara
assessment dengan kurikulum/program.aktivitas, yang seharusnya link and match.
Karena banyak yang melakukan terapi tanpa melakukan assessment, ataupun
assessment hanya dilakukan sekedar formalitas sehingga
kurikulum/program/aktivitas tidak berdasarkan hasil assessment yang baik dan
benar.
d. Orangtua jangan malu/kuatir dikatakan
cerewet, oleh karena sepenuhnya hak orangtua untuk diberi informasi yang cukup
dan menanyakan berbagai hal yang ingin diketahuinya dan/atau tidak
dimengerti/difahaminya, sebelum terapi dilakukan, yang mana merupakan bagian
dari informed-consent.
6. Bergabunglah dengan kelompok orangtua
yang mempunyai keyakinan bahwa autisme bisa sembuh/disembuhkan, sehingga tidak
merasa sendirian di dunia ini, serta dapat berbagi suka-duka serta
pemecahan/mengatasi masalah. Pengalaman-pengalaman positif dari orang-orangtua
yang lebih dahulu menangani anak autistik mereka, akan sangat bermanfaat bagi
kita sehingga menghemat waktu yang sangat berharga ini dalam penanganan anak
autistik kita.
7. Penanganan penyandang autisme secara
serius dengan ABA dan Biomedical Intervention, akan menguras banyak waktu,
tenaga, dan perhatian. Tetapi jangan dilupakan bahwa kita sebagai orangtua
adalah juga manusia biasa, yang dilengkapi dengan berbagai kelebihan dan
kekurangan. Mungkin kita tidak termasuk manusia super, sehingga konsentrasi
kita terhadap penyembuhan anak autistik kita akan menguras banyak enerji dan
kapasitas mental kita. Sehingga akhirnya bisa terjadi suatu kondisi yang
disebut sebagai burn-out. Yaitu sampai batas kemampuan kita terlampaui, maka
kita akan jenuh, sehingga kita jadi tidak melakukan apapun. Tidak bisa melakukan
apapun, tidak mampu melakukan apapun, tidak mempunyai semangat serta gairah
untuk melakukan apapun. Ujung-ujungnya malah yang tadinya kita top-full-speed,
malah menjadi seperti menelantarkan anak spesial kita itu.
Jadi,
untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka kita perlu meluangkan suatu
waktu atau suatu hari untuk “berlibur”, Me-Day, hariku, hari khusus untuk
diriku. Bisa saja itu sehari penuh atau kurang, namun intinya adalah break,
istirahat, luangkan waktu untuk diri kita, tinggalkan sementara semua
persoalan, semua kepusingan, semua kekacauan, semua kecemasan, semua
gundah-gulana, dll.
Luangkan
waktu sejenak untuk diri kita saja, bersenang-senanglah, hiburlah diri kita,
agar supaya kita kembali segar, kembali di-charge, kembali semangat, kembali
bergairah untuk kembali menangani anak spesial kita. Hal ini tidak identik
dengan kita perlu mengeluarkan biaya yang besar, mungkin saja hanya sekedar
duduk di pinggir pantai, mendengarkan debur ombak, sambil makan makanan kecil,
menikmati minuman ringan, dan memandangi tenggelamnya matahari. Pokoknya suatu
hal yang kita suka serta menyenangkan dan mungkin seperti yang dulu
kadang/sering kita lakukan. Ini seperti halnya orang bekerja, kenapa harus ada
libur mingguan (hari Minggu atau Sabtu dan Minggu), kenapa perlu cuti tahunan.
Jawabannya adalah untuk refreshing, untuk recharge.
8.
Selain
itu, hal yang penting juga adalah memperhatikan pasangan (suami/istri) kita.
Statistik memperlihatkan bahwa angka perceraian lebih tinggi pada keluarga yang
mempunyai anak autistik, dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai anak
autistik. Di samping itu juga, perlu diperhatikan terjadinya sibling-rivalry
(rivalitas saudara kandung), dimana terjadi kecemburuan pada anak yang non ABK,
oleh karena perhatian kedua orangtuanya tercurah pada anak yang ABK.
0 komentar:
Posting Komentar