Paradigma Pelabelan ABK dari Sisi Pendidik

ABK dan Nama

Haiii
Assalamu’alaikum..wr…wb..
Selamat pagi… semangat pagi….
Sedang butuh tempat buat menyalurkan ilmu. Oke, kali ini selain berasal dari keresahan saya tentang Pendidikan ABK, tulisan ini juga dipengaruhi oleh ‘hasutan’ dosen saat saya kuliah PPG lokakarya 2.
Keresahan? Ah,,baper aja… ini ciyus lho, bukannya baper,,
Berbicara tentang anak berkebutuhan khusus pada zaman now. Wuuuiiihhhhh,,, banyak sekali macam-macamnya. Di beberapa postingan yang zaman old di blog ini ada juga lho.. kalau mau mampir boleh di klik à
Daaaannnn… sekarang “muncul” berbagai macam lainnya seperti:
Autistic Disorder (Autism), Asperger’s Syndrome, Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS), Rett’s Syndrome, Childhood Disintegrative Disorder (CDD).
Padahal istilah di atas adalah artinye sama aja.. Autistic Spectrum Diseases
Hhmm,,, barangkali masih banyak peristilahan yang lainnya ya.
Kenapa saya bahas tentang bermacam-macamnya istilah yang menunjukkan ABK?
Karena, beberapa oraang mulai bingung bahkan sampai “terjebak” dalam peristilahan ini.
Memangnya dari mana peristilahan ini muncul? Mayoritas peristilahan ini muncul dari pandangan medis. Karena saya bukan tim medis, maka saya akan share bagaimana sudut pandang Pendidikan.
Gini..gini…kalau dari segi medis, bermunculah istilah-istilah seperti contoh di atas. Seorang anak akan diberi label bahwa anak tersebut ABK dengan bla bla bla. Anak ini tidak bisa ini, tidak bisa itu, dan pelabelan lainnya.
Lalu, setelah anak “mempunyai label”, apa yang dilakukan tim medis? Enough..
Paling banter nyaranin buat kasih obat atau terapi tertentu.
Nah, setelah itu para orangtua mulai dah,, bingung..bingung, gan bingung…
Mulailah mencari “mau diapain ini anak?”
Biasanya orangtua mulai mencari Lembaga Pendidikan untuk anaknya. Datang dengan membawa hasil diagnosis tim medis, dengan wajah yang masih kebungungan.
“Bu, anak saya kenapa ya?”
“Bu, anak saya katanya dokter A, dia itu ADHD”
“Bu, anak saaya kenapa sih? Kata Psikolog B, dia itu anak autis”
“Kalau kata si dkter C, dia PDD NOS”
“Bu, saya pusing, sebenarnya anak saya itu kenapa sih?”

Sedikit cerita tentang pengalaman seorang ibu yang “pusing” dan “bingung” tentang hasil diagnosis dan pelabelan.

Ya, saya pernah mengalami hal ini. Seorang ibu, anaknya didiagnosis oleh seorang psikolog yang mempunyai lembaga yang menyediakan terapis atau guru bagi ABK. Bahwasanya, anak tersebut adalah anak dengan ADHD. Dan direkomendasikan untuk menjalankan terapi (tentunya terapis dari lembaganya). Orangtua menyetuuinya, walaupun masih muncul kebingungan-kebingungan orangtua. Apaan tuh ADHD? Emangnya anak saya kenapa sih? Kok anak saya kayak anak g*l*? nggak bisa diem? Tapi kalau ditanya kadang nyaut kadang nggak? Apakah diagnosis si psikolog yang hanya satu jam, seorang anak usia 3 tahun dapat dikatakan mengalami ADHD?
Masihlah si ibu tidak mempercayai dengan hasil diagnosis dari psikolog tersebut. Dan mulai mempertanyakan profesionalitasnya karena “biaya yang mahal” untuk meminta konsultasi dengan psikolog tersebut.
Oke, sembari melalukan terapi di rumah, lalu si ibu mencari tau lagi ke dokter spesialis anak yang mempunyai ciri-ciri mirip anaknya. Waiting listnya sampai berbulan-bulan. Tiba saatnya, datanglah si ibu. Dan jreeenngggg. Anaknya didiagnosis sebagai anak autis. Wah.. makin syok ibu dan bapak tersebut. Anak gw autis? Yang bener aja? Tapi dia nggak selalu pecicilan kok, kadang kala dia mau bengong?
Stress tingkat dewa ini, orangtua mendengar anaknya dikatakan sebagai anak autis. Tambah bingung. Mau diapain ini anak.
Orang tua masih mencari-cari, sebenarnya anak kami tu kenapa bu?
Ia mendapat rekomendasi untuk melakukan terapi bermain. Mulai dia mencari-cari informasi tentang play therapy. Sampai ketemu dokter dan psikolog, lalu beli bukunya. Tetapi hal ini masih belum memuaskan perasaan mereka.
Ia mendapat rekomendasi ke psikolog lainnya. Diasesmen lagi si anak. Hasilnya tidak melabel autis atau yang lainnya. Ia mengatakan bahwa anak ini mengalami keterlambatan perkembangan kalau tidak salah di bidang Bahasa ekspresif, sensori propioseptif, auditory, motor plan/motor awareness. Waaahhhh….istilah baru lagi nih untuk si ibu. Makin bingung lagi sekarang. Harus gimana? Mau diapain nih anak?

And then, finally, dia lelah. Oke, saya sampaikan bahwa:
“Mah, sekarang nggak usah bingung. Dia mau dibilang ADHD atau autis, atau lainnya. Sekarang kita fokuskan saa apa sebenarnya yang adi kebutuhan dia. Mamah kan sudah lihat bahwa perkembangan bahasanya masih perlu dikembangkan, ya optimalkan. Perkembangan sensorisnya masih perlu dikembangkan, ya diberi stimulus-stimulus untuk mengembangkannya. Toilet trainingnya masih belum bagus, ya selalu dibiasakan. Dan perkembangan-perkembangan yang lainnya yang belum maksimal, ayo dikembangkan”.

Lah, daripada kita “capek” dengan pelabelan, lebih baik kita fokuskan pada perkembangan anak bagian mana yang masih perlu dioptimalkan?
Sekarang lihat kebutuhan area perkembangan anak:
  • -      SOSIAL EMOSI
  • -      KOMUNIKASI
  • -      LEARNING
  • -      FISIK

Asesmen untuk mengetahui:
“apa sih kebutuhan anak saat ini?”
“apa yang bisa kita lakukan untuk membantu untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut?”
Inilah bagian dari Pendidikan Luar Biasa. Karena tidak hanya berhenti pada “pelabelan” semata. Karena masih ada hal yang lebih panjang lagi di belakang “pelabelan” itu.

Mari kita lebih peka lagi tentang apa sih kebutuhan anak saat ini, dan bukan kebutuhan guru/orangtua ya..

Salam..


0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger