Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1997 adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang difabel guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Declaration on the Rights of
Disabled Persons (1975) menegaskan bahwa penyandang difabel berhak untuk
memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi
mandiri/ tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan
pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan social,
pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua
jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan
ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi
dan integrasi social mereka.
Selanjutnya, pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons
with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan
menjamin aksesibilitas para penyandang difabel melalui (1) menetapkan
program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang difabel,
dan (2) melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan
komunikasi para penyandang difabel.
Untuk mewujudkan langkah tersebut, negara harus melakukan
tindakan-tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang
difabel, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang
mengatur dan menjamin akses penyandang difabel terhadap perumahan, gedung,
transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya.
Kemudian, negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu
bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah
mempertimbangkan akses para penyandang difabel dan para perencana pembangunan
haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang difabel
(disability policy). Untuk keperluan tersebut, penyandang difabel harus
dilbatkan dalam proses konsultasi perencanaan bangunan.
Aksesibilitas berikutnya adalah akses terhadap informasi dan
komunikasi. Penyandang difabel harus mendapatkan akses terhadap informasi yang
leluasa tentang diagnosa, hak-hak, dan pelayanan yang mereka terima pada semua
tingkatan. Informasi-informasi tersebut harus dihadirkan dalam format yang
dapat diakses oleh penyandang difabel seperti misalnya dalam format huruf braille,
pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign
language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna
netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang difabel lainnya.
Disamping itu, negara memiliki kewajiban untuk juga menjamin bahwa
media massa, utamanya televisi, radio, dan koran, dapat menghadirkan layanan
media yang ramah terhadap penyandang difabel. Termasuk dalam hal ini adalah
layanan informasi publik via komputer haruslah juga dapat diakses oleh para
penyandang difabel.
0 komentar:
Posting Komentar